Thursday, 29 September 2016

Book-selling for a Train Ticket

Thursday, September 29, 2016 4

See those two babies up there?
I'm selling them.

Selamat menjelang weekend semuanya. Sesuai dengan judul blog post, saya berniat menjual dua buah buku fiksi kesayangan saya ini. "World War Z" karya Max Brooks dan "Metro 2033" dari Dmitri Glukhovsky. Agak berat rasanya melepas mereka dan melihat sosoknya hilang dari lemari, tapi karena saya ingin mencari downline berbagi bacaan bagus (sekaligus butuh uang), maka saya putuskan untuk menjual mereka. Mencarikan lemari lain yang akan menjadi tempat tinggal baru mereka.

Berhubung keduanya buku impor, isinya berbahasa Inggris ya. Jangan sampai salah duga terus kecewa karena merasa saya bohongi. Janganlah ada yang bersikap seperti pas saya akhirnya nonton film restorasi Tiga Dara di bioskop, di sepertiga awal film entah siapa menyeletuk kenceng, "Apaan kok nggak ada Tara Basro??" *siram kepala oknum tersebut pakai air soda*

Why do I want to sell them, you ask?

SEBAB. SAYA. INGIN. PULANG. KAMPUNG. Saya sudah lama nggak balik ke kampung halaman dan kepengin pulang. Tapi masalahnya tiket kereta jarak jauh relatif mahal. Apalagi kalau ambil tiket yang dibatalkan calon penumpang lain karena harus bayar administrasi penggantian nama, sehingga saya butuh dana tambahan. *termenung menatap slip gaji yang semenjana (meski di saat yang sama tetap bersyukur masih dapat pekerjaan)* 

1) World War Z - Max Brooks

Buku pertama yang ingin saya lepas adalah ini. And this, people, is a damn good book. Saya hampir hipertensi mendadak setelah nonton adaptasi film World War Z-nya Brad Pitt gara-gara kualitasnya jomplang banget dengan materi orisinil dari novelnya. Supaya lebih afdol, saya sertakan foto tampak kaver belakang (yang kaver depan kan sudah di atas sono).


World War Z dari Max Brooks ini akan saya lepas seharga Rp130.000 (seratus tiga puluh ribu rupiah). Kondisi bukunya masih SUPER MULUS LUS LUS bak kulit bintang iklan Nivea hampir seperti baru. Jika dipersentasekan mungkin 95-99%. Iya, saya sepede itu. I'm pretty good at taking care of my books and it's one of my personal quality I can really be proud of.

Sebagai perbandingan, harga buku ini di Periplus adalah Rp200.000 dan bisa dicek di sini. Sementara kalau di Books and Beyond, harganya sedikit lebih mahal dari Periplus yakni Rp215.000. Kalau nggak yakin sama cuap-cuap saya silakan dilihat sendiri di laman ini. Lebih murah beberapa puluh ribu kan lumayan, bisa buat jajan dan nongkrong-nongkrong kece.

Lanjut ke buku berikutnya.

2) Metro 2033 - Dmitri Glukhovsky

Buku ini tergolong apa ya... sci-fi? Atau ada unsur dystopian? Atau malah keduanya? Yah, saya memang kurang jago dalam memetak-petakkan buku, tapi buku ini seru banget. Saya hingga lulus kuliah cuma kenal karya novelis-novelis Rusia klasik macam Leo Tolstoy, Fyodor Dostoevsky, atau Nikolai Gogol, tapi kemudian saya putuskan untuk mencoba memperluas ranah saya ke novel Rusia kontemporer lewat Metro 2033 ini dan... langsung menyesal kenapa nggak baca dari dulu-dulu! Berikut foto kaver belakangnya:


Buku ini dijual di Periplus seharga Rp369.000 (bisa dikonfirmasi di sini), sementara Books and Beyond pasang harga Rp342.000 dan dapat dicek langsung lewat sini. Lumayan mahal ya? Wajar sih. Metro 2033 ini cukup banyak halamannya, nyaris dua kali lipat tebal buku World War Z. Berhubung buku saya ada defect alias cacat yang agak signifikan, yakni kaver belakang sedikit terlipat ujungnya (sebagaimana terlihat di foto atas), saya akan jual Metro 2033 ini Rp180.000 (seratus delapan puluh ribu rupiah) saja. Kurang lebih 50% lebih murah dari harga baru, lho! Persentase kondisi buku, setelah mempertimbangkan cacat kaver, yaa... 85% lah.

Bagi kalian yang berminat membeli (atau mau tawar-menawar harga selama nggak banyak-banyak), bisa kontak e-mail saya di coldbutterbeer@gmail.com atau via LINE di chocolatefudgecake. Tolong bantu sebarkan juga ke kenalan, sahabat, gebetan, mantan, mantan gebetan, selingkuhan, atau tetangga kalian yang gemar baca buku fiksi berbahasa Inggris supaya saya mampu beli tiket kereta untuk pulang kampung.

Saya kangen Emak, teman-teman.
Tolong bantu saya biar bisa pulang.

Sekian dan terima kasih.

_________

[ UPDATE ]
2016/09/30: I hereby declare that this is now a CLOSED OFFER.
Whoa. Whew. Saya... terharu. Respon yang saya terima jauh, jauh, lebih baik dari yang terbayang di benak ketika membuat postingan ini. Terima kasih banyak kepada Koh Jet, Kak Macan Wigit, Mbak Elmira, Mbak Adis, Kori, dan Adit yang sudah berkontribusi menyebarkan informasi. *hugging virtually*

z. d. imama

Tuesday, 27 September 2016

Fisip Meraung: Aset Kota Solo?

Tuesday, September 27, 2016 7
Gondhilku kecanthol lawang! Suwek! Suwek! Suweeeeeeekk!! Rakuat nggo tuku gondhil, tuku gondhil... Nggo tuku gondhil...

Segelintir baris di atas adalah lirik dari salah satu lagu Fisip Meraung yang berjudul "Gondhil", dari album "Bis Tingkat". Bagi kalian yang tidak familiar dengan istilah 'gondhil', saya akan berbaik hati membantu menjelaskan. 'Gondhil' itu adalah sebutan untuk kaos kutang, atau bahasa kerennya tank top, atau model baju atasan yang potongannya longgar dan menyebabkan ketiak kita bisa merdeka dalam tempo jang sesingkat-singkatnja. Alhasil karena longgar, maka tidak jarang lubang lengan yang ngglembreh dan kewer-kewer itu berpotensi nyangkut di pegangan pintu (saya sendiri pernah mengalami tank top sobek karena lubang lengannya tersangkut, jadi saya paham betul level realita lirik lagu di atas).

Apa dan siapa sih, Fisip Meraung ini?

Kalau ditanya seperti itu, jawaban saya secara umum agak-agak template-ish. "Band indie asal kota Solo, yang namanya diambil dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNS". Udah. Gitu aja. Tapi bagi diri saya pribadi, tidak pernah sekalipun saya menganggap Fisip Meraung sebagai band indie pada umumnya, melainkan lebih ke arah "band koplak hasil proyekan salah satu teman sekelas saat SMA", yang lagu-lagu ajaibnya sering saya dengarkan setiap kali saya sedang suntuk, butuh hiburan, atau sekadar ingin melupakan nestapa hidup.

Ini foto Fisip Meraung saat tampil di halaman mal yang letaknya di seberang rumah saya di kampung halaman. (Iya, saya kalau pulang kampung, mau belanja atau main ke mal tinggal gulung-gulung nyeberang jalan. Luar biasa, kan.)


Tadi saya kan bilang kalau bagi saya Fisip Meraung adalah band proyekan salah satu teman sekelas saat SMA. Nah, orang itu adalah yang berkemeja kotak-kotak di tengah (lihat foto atas). Namanya Megananda, lebih akrab dipanggil Amek. Saya sekelas dengan Amek saat masih kelas dua SMA, dan percayalah, waktu itu sudah terlihat tanda-tanda bahwa segala ide yang terceplos darinya niscaya bernuansa keajaiban dan keabsurdan. Di Fisip Meraung, selain memainkan bas, Amek juga yang biasa dapet tugas menyanyi. Jadi ya, suara vokal ala kadarnya yang kalian dengar pada lagu-lagu Fisip Meraung itu milik Amek.

Selain Amek, ada Taufik Cahya Sudirman atau Topik, di posisi gitar (dan vokal bagian sahut-menyahut). Di belakang drum ada Radius Bonifasio, yakni satu-satunya personil yang saya paling nggak kenal. Nama 'Fisip Meraung' pun asal-usulnya sederhana: karena mereka bertiga pada saat band ini terbentuk adalah mahasiswa FISIP UNS. Dampak dari males mikir nama band yang miyayeni (layak) ini pun salah satunya menyebabkan mereka sampai dipanggil pihak kampus karena disangka UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) resmi. Walah.

Bicara mengenai Fisip Meraung, kekuatan dan keajaiban utama mereka adalah lagu-lagunya. Liriknya menggunakan bahasa Jawa ngoko dan durasi tiap lagu rata-rata adalah satu sampai dua menit! Contoh lagu terkilat dari Fisip Meraung yang pernah saya dengar adalah "Nggugah Sahur" (Membangunkan Sahur), yang durasinya―kalau tidak salah ingat―hanya SEKIAN PULUH DETIK. Itu sih, cuma ditinggal menguap juga udah bubar duluan lagunya.


Foto barusan adalah kaver album religi mereka.
Sudah kepengin facepalm lalu membalikkan meja, belum?

Dua lagu milik Fisip Meraung yang dibuat di masa-masa awal, "Gedang Goreng" (Pisang Goreng) dan "Ngentasi Memean" (Mengangkat Jemuran), bahkan dibuatkan 'video klip' semenjana dan diunggah di YouTube. Silakan coba lihat sendiri dua buah video yang saya sertakan di bawah supaya kalian mampu memahami betapa jelata dan rakjat ketjilnya konsep Fisip Meraung.

1) Fisip Meraung - Ngentasi Memean


Sekadar trivia, gerombolan anak-anak cowok yang makan di warung pakai mangkok ayam (entah isinya bakso entah mi ) adalah teman-teman sekelas saya. Di antaranya yang terdekat dari kamera dan mengenakan helm adalah Rizal Nugraha (yang kemudian kuliah di ITB), di sebelahnya ada Ivan Dhimas, dan yang pakai hoodie abu-abu namanya Yesa. Nggak tahu deh waktu itu mereka dibujuk pakai apa kok mau-maunya membantu Amek bikin video klip beginian. Hahaha. Oh, dan baju putih yang dikenakan Amek di awal video? That's 'gondhil'.

2) Fisip Meraung - Gedang Goreng


"Gedang Goreng" bisa dikatakan sebagai lagu sulung Fisip Meraung. Sesepuh. Pionir. Angkatan awal. Apapun sebutannya. Judul lagu ini juga mencikalbakali nama fan club Fisip Meraung yang dinamakan Gedang Rockers. Embel-embel 'rockers' di belakang mungkin dikarenakan nuansa rock yang mendominasi sebagian besar lagu-lagu Fisip Meraung, walau setiap kali ditanya masalah genre, jawaban mereka pasti konsisten: humourcore. Alias musik guyon.

Saya mengenal Fisip Meraung semenjak eksistensinya masih berupa proyek sampingan yang santai dan cenderung main-main yang merekrut gerombolan teman-teman saya untuk meramaikan 'video klip' sederhana bikinan sendiri. Hingga kini, ketika mereka telah berkali-kali manggung ke berbagai tempat, bahkan diundang menjadi band pembuka Tulus dan Payung Teduh, dengan Facebook Page mereka sudah mendapat lebih dari tujuh ribu likes  dan dimuat dalam berbagai artikel koran-koran lokal. Di mata saya, Fisip Meraung tetap sama.




Reaksi saya ketika mendengarkan lagu-lagu Fisip Meraung masih tidak berubah. Tertawa geli bercampur kesal, merasa heran, bisa-bisanya mereka terpikirkan untuk membuat lagu dengan lirik se-ndeso dan senyata ini??? Selain lirik "Gondhil" di awal tadi, mari kita tengok lagu "Kecopetan" yang ada di album "Spesial Sambat":

Aku bar kecopetan, tapi aku rapopo
Mergone dompete kui ora ono isine

Baru saja kena musibah kecopetan, tapi kita bisa dikatakan baik-baik aja karena memang sebetulnya dompet yang dicopet itu nggak ada isinya. Man, it's just freaking TOO REAL.

Bagi kalian yang berminat menyimak lagu-lagu Fisip Meraung, bisa main ke laman Tumblr mereka di sini karena kadang mereka suka drop link untuk free download. Ngakunya band udah kaya, jadi nggak butuh-butuh jualan amat. Lagipula, menurut klaim mereka, Fisip Meraung adalah aset Kota Solo layaknya kimcil racing dan Serabi Notosuman, sehingga barangkali nggak bagus juga kalau terlalu mata duitan... #Sotoy

z. d. imama

Monday, 19 September 2016

1/3 of My Friends are Getting Married

Monday, September 19, 2016 14

Belakangan ini saya mulai melihat feed laman profil Facebook dihiasi foto-foto pernikahan teman-teman. Sekadar memperjelas, "1/3 of my friends" di sini tidak sebatas pada mereka yang angkatan sekolah atau kuliahnya sama seperti saya, tapi bisa juga kakak kelas yang beberapa tahun lebih senior, atau bahkan adik-adik angkatan. Intinya, mereka adalah orang-orang yang saya kenal dan mengenal saya (masalah ingat kalau kenal atau nggak, itu urusan lain).

Dari situ saya mengamati, ternyata perilaku manusia saat mengunggah foto-foto pernikahan cenderung mirip dengan ketika mereka mengunggah foto-foto wisuda atau kelulusan. Satu album bisa dipenuhi puluhan hingga ratusan gambar, namun ketika kita buka satu per satu ternyata gitu-gitu aja tipe fotonya. Sebagian besar orang yang difoto sama, pose sama, background pun sama. Klik tombol "next" berkali-kali pun serasa tidak ganti-ganti halaman sampai mengira Facebook lagi error... eh ternyata memang foto yang diunggah identik semua. Yah barangkali sedang euforia, maklumi sajalah.


Biasanya, album foto-foto pernikahan akan dengan sukses mengundang segudang reaksi dari teman-teman saya yang lain. Baik itu berupa likes atau komentar. Lazimnya pula, komentar-komentar yang tertulis di bawah postingan tidak akan absen dari seputar:

  • Mengucapkan selamat kepada mempelai. "Waaah selamat yaa.. udah nikah nih, ciyeeee."
  • Mendoakan mempelai dengan template standar berbau agamis. Seringnya sih antara "Tuhan memberkati" dengan segala variasinya ("GBU/God bless") dan "Semoga pernikahannya sakinah mawaddah warrahmah... berbakti pada suami ya, amiiin." (Kalau versi yang lebih kekinian, atau mungkin males ngetik aja, bagian "sakinah mawaddah warrahmah" akan disingkat menjadi "samawa").
  • Mengomentari sang mempelai. "Aduh cantik banget", "Waaah gantengnyaaa..", "Baju sama dandanannya baguuus..".
  • Ungkapan rasa kecewa. "Lhoo kok aku nggak diundang???"
  • Numpang curhat. "Aaaah jadi kepengin nyusul nikah juga, nih!"
  • Lempar umpan ke pasangannya, seolah mereka itu ikan di empang pemancingan. "Eh ini konsep nikahannya bagus juga yak, *tag akun pasangan*"
  • Nge-tag teman dan kenalannya yang masih belum punya pacar sambil pura-pura peduli (padahal aslinya apaan). "Woy giliran elo kapan? *tag akun teman*"



Di luar itu, biasanya bergantung dari kreativitas masing-masing aja. Tapi ya, you know what I mean, mayoritas ya akan terlihat seperti layaknya contoh nyata yang diambil langsung dari Facebook di atas. (Well, at least I attempted to censor their names. Jangan tuntut saya, plis.)

"Elo ngapain, sih? Sirik amat lihat orang bahagia!" 

Lho, jangan salah. Saya pun tadinya sempat berpikir demikian. Menanyakan, "Apa jangan-jangan gue iri ya?" kepada diri sendiri saking enggannya meladeni pertanyaan basa-busuk "Kapan nyusul nikah?" atau "Calonnya mana?" dan sejenisnya ketika berkumpul dengan sanak saudara atau kawan lama di resepsi pernikahan. Ujung-ujungnya, saya memilih nggak muncul dalam acara-acara seperti itu dan bahkan tidak meninggalkan likes atau komentar untuk foto-foto yang diunggah. Diem aja lah kayak orang-orangan sawah.

Setelah bersemedi di bawah arus air terjun shower, saya pun menyadari bahwa ternyata saya memang merasa iri! Iri gara-gara kepengin nikah juga? Oh, sayangnya bukan.


There. I said it.


Saya yang sekarang mungkin justru lari terbirit-birit kalau diajak nikah (meski sesungguhnya juga nggak ada yang ngajak). Saya belum siap. Belum siap berepot-repot ria menahan diri nggak ngupil biarpun hidung gatel pas ketemu calon mertua supaya direstui. Belum siap menghadapi drama-drama yang terjadi di kala mempersiapkan acara (yang nikah maunya apa, nyokap sendiri maunya apa, ibu mertua maunya apa, tantenya pasangan maunya apa...). Belum siap menerima protes, perlawanan, bahkan gunjingan sanak saudara kalau gaya pernikahan yang saya mau tidak sesuai dengan standar mereka. Kalau mau diteruskan, alasan ketidaksiapan saya bisa lebih panjang lagi.

Tapi di sisi lain, saya juga kepengin.

Kepengin pakai baju bagus ala-ala wedding dress yang roknya panjang melambai-lambai dan nggak ada seorang pun berpikir kalau saya overdressed. Kepengin ada orang lain yang mendandani saya, biar sesekali ini tampang bisa kelihatan cakep... nggak terus-menerus terlihat seperti keset Welcome yang sabutnya sudah amburadul.



Atau, boleh juga yang seperti ini:


Jadi ya, saya memang iri.

Tapi perasaan itu hanya sebatas hasrat tak kesampaian saya untuk bisa kelihatan cakep di dalam foto, yang mana shutter-nya dipencet oleh pihak yang memang memiliki standar estetika fotografi. Bukan sekadar ibu-ibu numpang lewat yang hasil bidikannya blur semua lantaran terburu-buru hendak melanjutan agenda belanja yang saya interupsi. Kepengin merayakan sesuatu bersama orang-orang yang saya anggap teman, yang mana sepertinya angan-angan ini agak intensify karena seumur-umur nggak pernah dapet birthday surprise ataupun mengadakan sweet seventeen-an. Maafkan impian babu yang terlalu sederhana ini, tapi memang begitulah adanya.

"Yakin nggak ngebet nikah? Nanti keburu nggak laku kalau milih-milih." - Masyarakat.

Terus terang saja saya merasa bukan tipe orang yang terkesan dengan konsep "mari menikah supaya berbahagia". I've seen enough failed marriage which brings nothing but despair. Sehingga saya berpendapat bahwa pernikahan itu adalah berbagi, baik kebahagiaan, kesulitan, atau kesedihan. Bukan sumber kebahagiaan. Bagi saya, seorang manusia harus mampu merasakan bahagia bahkan ketika dia sendirian. Jika menikah supaya bahagia tapi ternyata realita nggak seindah fantasi, ujung-ujungnya mungkin akan menyalahkan pasangan, seolah-olah menjadi bahagia atau tidak itu bukan tanggung jawab diri sendiri.

Lagipula saya nggak terburu-buru. Baru lulus kuliah ini. Baru mulai jadi roda gigi korporasi. Punya life goals macam "paling telat umur segini harus nikah" saja enggak. Selama ada orang yang bisa saya jadikan tempat 'pulang', di mana saya nggak perlu cemas menjadi diri sendiri sejelek apa pun, saya nggak terlalu ambil pusing soal pernikahan. Mengenai julukan 'nggak laku' yang mungkin akan dihembuskan saudara atau tetangga... maaf ya, Bapak, Ibu, tapi saya sih sudah biasa. Toh single serving melulu kayak pisang Sunpride di Indomaret. Jadi mohon siap-siap mental aja kalau misalnya kelak direcokin kanan-kiri.

Huhuhu.

Saya mau cari duit sajalah. Sampai saya punya kemampuan berak emas seperti dalam dongeng The Goose Who Laid Golden Eggs, saya mau kerja saja layaknya sekrup-sekrup kapitalisme pada umumnya. Supaya kelak bisa pakai baju bagus, sepatu kece, difotoin cakep, tanpa harus nunggu acara-acara semacam resepsi pernikahan.

Udah gitu aja.

z. d. imama

Wednesday, 7 September 2016

Birthday Project: "Hey guys, what do you say about me?"

Wednesday, September 07, 2016 12

DISCLAIMER: I don't really like birthdays.


And I stopped remembering how old I am after I turned seventeen. I don't know. Perhaps because I realize that it never means anything (unless when I reached 21―hey world, now I'm legal for almost everything! Wooo hooo!). Or maybe it's because I never got the chance to experience the over-exaggerated "sweet seventeen" thing everyone else seems to be very excited about. Why, you ask? Simple. My parents could not afford any kind of festivities. And I am fine with it. A little bit sad, of course, and envious to others who celebrated their 'turning seventeen' with grand parties. But skipping it didn't kill me, so yeah. I'm okay.


Alasan saya tidak suka ulang tahun bermacam-macam. Lebih sering karena tidak terlalu peduli soal itu, tapi pernah juga gara-gara I felt so damn emo about it, serta sempat juga akibat merasa dimanfaatkan oleh orang-orang yang suka mengatasnamakan pertemanan. Silakan bilang saya ini terlalu serius atau apa, tapi rasa yang saya alami saat itu nyata. It felt real and I didn't like it, and it made me kind of having two left feet when facing my own birthday.

Tapi tahun ini saya akan mencoba menghadapi hari kelahiran saya dengan cara yang tidak sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Gimana? Bikin Birthday Project ala-ala, seperti yang bulan Juni silam dilakukan teman saya, Ikhyar (eh, kita dihitungnya sudah temenan kan ya?)Dipikir-pikir, nggak ada yang istimewa juga sih sebenarnya dengan ulang tahun kali ini. Angkanya juga nggak cakep, tampang saya juga masih begini-begini aja, nggak mendadak bangun-bangun jadi mirip Kitagawa Keiko. I just want to do something new, and hopefully this project will make me more positive about myself, because I for damn sure suffer a pretty chronic low self-esteem syndrome.


I am going to meet people in every weekend, have a long chat with them, and before we part, I will ask for ① their first impression of me (in case it's their first time of meeting me) and ② what part of me which they like.
Iya, gitu doang.

This may look very simple and mundane thing for you, but for me, it's huge. I'm a bit of socially-awkward person and I'm never really good at making friends because... surprise, surprise: I don't really know what to do when you're someone's friend. So I guess, I just want to know which part of me that leaves a (good) impression to other people when I sit with them and have a talk. It can be anything. Any trivial matter is alright. Later, when I feel bad about myself and get discouraged and begin to think that I'm worthless... their positive feedback will help keeping me from giving up. From doing something stupid and unnecessary. True, whether to give up or chin up is completely my decision. And yet, knowing someone else has something nice to say about you still brings a sense of happiness. At least to me.


So, I'm doing this.


Ulang tahun saya terjadi di pertengahan bulan Desember nanti. Targetnya sih, hingga hari itu tiba, saya bisa ketemu dan ngobrol dengan total 22 orang berbeda, yang cukup baik hati untuk bersedia saya ajak kontribusi dalam birthday project egois ini. Haha. Anyone wants to help me accomplish this birthday project? I'll be very glad to meet you!

z. d. imama

Monday, 5 September 2016

Train to Busan is One Hell of a Ride

Monday, September 05, 2016 6

Korean dramas are not my cup of tea. There, I said it. Saya nggak suka kebanyakan drama korea, and believe me, I have tried watching lots of them. Tapi tetep nggak suka. Bahkan Descendants of the Sun yang dielu-elukan banyak orang itu pun menurut saya lumayan overrated. Alias biasa aja. Nggak seistimewa itu lah pokoknya... *kemudian tewas digebukin massa*

Tapi untuk kategori film bioskop, beda cerita. Beberapa dari film-film yang berkesan di hati saya justru adalah keluaran Korea (Selatan, ya... bukan tetangganya). And same goes with this movie.


One fucking hell of a ride.

It keeps you sitting straight on your seat, gripping the armrest while mumbling constant prayer for the safety of the characters. Or it makes you leaning away as far as possible from the screen, drowning yourself deep into your chair because you're just not ready for any possibilities that may happen.

Tokoh utama di film ini adalah seorang ayah bernama Seok Woo yang sedang menjalani sidang perebutan hak asuh anak perempuan semata wayangnya, Su An, dengan mantan istrinya. Namanya lagi rebutan hak asuh, Seok Woo sebisa mungkin berusaha 'menjauhkan'anaknya dengan sang ibu. Tapi Su An, yang besok berulang tahun, ternyata ingin bertemu ibunya yang kini tinggal di Busan. Akhirnya Seok Woo pun memutuskan untuk cuti kerja demi mengantarkan Su An naik kereta hingga ke Busan. Sementara itu di tempat lain, terjadilah sekelebat peristiwa 'sepele' di mana ada jalanan yang ditutup aksesnya karena ada kebocoran pada sebuah pembangkit listrik tenaga nuklir.

Tema Train to Busan ini sederhana. Dan, kalau boleh jujur, overused. Sudah buaaaanyak dipakai semua orang. Zombie outbreak, that is. Ada berapa banyak film dan serial yang mengangkat fenomena zombie apocalypse? Lebih banyak dari persentase lemak di badan saya, yang jelas.

But they Korean managed to keep it fresh. It's never about how to find cure. It's not also about being a 'special person' who is miraculously immune to the infection. Just like the tagline on the movie posters, it is just about a frantic struggle to stay alive. Mereka nggak buang-buang waktu memberikan penonton kronologi penyebab bocornya nuklir, atau siapa yang pertama kali terinfeksi... nggak. Those aren't even important shits because in an actual outbreak, oftentimes, we only notice it when it already turn into a great mess.



GET ON BOARD TO STAY ALIVE.

That's what they say. Really? But when all hell break loose inside the train compartments as well, what are you gonna do about it? How far can you make it uninfected? How far will you go to help other people, when you almost can see the end of your own life? And is there even a safe haven?



Film ini berhasil mengaduk-aduk emosi saya habis-habisan. Sewaktu saya dan E, teman saya, masuk ke dalam studio, kondisi perut kami berdua adalah sedikit kekenyangan setelah makan siang. Seiring berjalannya film, yang saya alami adalah mules karena ketegangan luar biasa dan diakhiri dengan lagi-lagi merasa kelaparan... ketika ending credit bergulir di layar. Piece of advice: eat up before you see this masterpiece. It will suck out a lot of your energy. Guaranteed. Dan nggak usah repot-repot bawa cemilan, deh. Kalian bakal lupa sama sekali dengan popcorn yang sudah dibeli, atau sekadar jadi nggak doyan ngunyah apa-apa sepanjang nonton.



Tokoh-tokoh yang menjadi fokus cerita ini tidak banyak. Selain Seok Woo dan putrinya, Su An, ada pula bapak-bapak gempal berjaket biru bernama Sang Hwa yang naik kereta bersama istrinya, Seong Kyeong. OH HOW I LOVE THIS MARRIED COUPLE. AND AT THE SAME TIME I HATE THEM, TOO. Karena mereka adalah biang kerok terbesar dari emotional wreck yang saya alami. Sepanjang durasi film, yang saya lakukan setiap kali Sang Hwa dan Seong Kyeong disorot adalah komat-kamit berdoa semoga mereka selamat, dan supaya janin dalam kandungan Seong Kyeong baik-baik saja. Melihat sosok ibu hamil lari pontang-panting menghindari kejaran zombie sambil memegangi perutnya benar-benar membuat isi lambung saya seperti dijungkirbalikkan.

LAGIAN SIAPA SIH YANG PERTAMA KALI SOK NGIDE BIKIN ZOMBIE JADI BISA IKUT LARI-LARIAN?

Ada pula Young Guk, cowok SMA anggota tim baseball yang hendak bertanding, dan Jin Hee, anggota  pemandu sorak. Cuma dua orang itu yang tersisa dari rombongan sekolahnya. Teman-teman mereka yang lain tidak berhasil menyelamatkan diri. Jin Hee ini meskipun bisa dibilang nggak berguna and basically being a liability, she is not exactly that kind of dumb girl who always puts others in a disadvantage situation. I can sympathize to her 'clueless and afraid and knowing that she basically has no use' being.

Beberapa tokoh lain yang cukup disorot adalah bapak-bapak gembel yang menyelinap masuk kereta tanpa tiket dan dua orang nenek-nenek bersaudara yang saya tidak bisa ingat namanya. Coba kalian cek sendiri di IMDB atau situs film lain kalau memang penasaran, harusnya sih ada... #MaafSayaPemalas


Film ini, walaupun tragis dan berdarah-darah selayaknya film zombie apocalypse yang sahih, sejatinya menyuguhkan kisah tentang manusia dan kemanusiaan. Kita diperlihatkan berbagai macam perilaku manusia di momen-momen krusial. It tells us about how selfish mankind can be, and what kinds of horrible things we are able to do. On the other hand, this movie also shows us selflessness and great sacrifices. And it tears and rips and shreds my heart apart then ruthlessly crushes the broken pieces to dust. They Korean lads won't spare a thing when making good movies; they don't even care if their creation ends up eating and gnawing at your soul. Mereka manusia-manusia filmmaker tega, dan seberapa pun kalian bersiap untuk menghadapi yang terburuk, they still catch you off-guard anyway. 

If they are playing gods when making their films, then they are doing it great with Train to Busan. Your prayers, sometimes, aren't granted. Your wish, sometimes, just does not come true. It is a cruel world, coming in a package with fucked-up reality and bleak future. Hope is something only you can grow inside your own heart, because others surely won't offer you any.


Final verdict: 
GET YOUR ASS TO THE CINEMA AND WATCH THIS MASTERPIECE.

Jangan nunggu keluar link Torrent-nya atau apalah. Don't be a cheapskate for this one. This one is best enjoyed on a big screen with a whole lot of companions. Kalian akan mendengar tarikan-tarikan napas tertahan, umpatan-umpatan lirih, dan jika beruntung, sesenggukan pelan dari penonton-penonton lain dalam ruangan studio di bangku sekeliling. Layar laptop, atau bahkan layar televisi kalian tidak akan sanggup menyamai sensasinya. Kecuali kalau punya perangkat home theater sendiri (tapi kalau memang punya, harusnya cukup modal untuk nonton di bioskop kan?).

z. d. imama

Saturday, 3 September 2016

Salted Choco Truffles: a recipe

Saturday, September 03, 2016 7

Saya kemarin baru saja dikatai, "Eh elo gendutan deh" oleh seorang mas-mas coworker.

Kampret.


One part of me wants to deny it. Mengatakan, "Ah enggak, deh. Halusinasi kamu paling, Mas!" Another piece of me really, really, wants to go offensive and snap back, "Elah sok ngatain orang gendutan kayak elu bodinya macem finalis L-Men of the Year aja!" But then again, a tiny, tiny bit of me mumbles inwardly, "Anjir. Kayaknya ngefek juga nih tiap malem makan banyak sambil maraton nonton downloadan film..."


Biarpun dibilang gembrot (kalau kata Syahrini sih "Gem #Brottt"), tapi itu tidak menghalangi saya untuk berbagi resep cemilan enak. Apalagi bahan dasarnya cokelat. Bikinnya juga gampang. Jangan curiga duluan saat tahu kalau resep ini memadukan antara cokelat dengan garam. Nggak, saya nggak gila. I'm sane, thank you, and these baby bites are so goood you're going to end up licking your own fingers like cats.


Why salt, you ask? It works as a neutralizer because the main ingredient is dark chocolate (70%), which tastes quite harsh for some people. Almost magically, it causes rich sweetness to pop out inside your mouth.


Have I say that these pretty little things are so damn easy to whip up?
Mari saya jabarkan apa saja yang kita butuhkan untuk meracik cemilan(?) ini. Nggak butuh banyak-banyak, kok. Ini resepnya simpel, dan lagipula, katanya sih semakin sedikit bahan yang dipakai akan meminimalisir efek samping (contoh: bokek mendadak karena over shopping).

BAHAN-BAHAN:
- 300 gram dark chocolate (yang 70%; pokoknya kalau digadoin lumayan pahit)
- 300 ml double cream (thick cream, heavy cream, terserah dapetnya apa)
- 60 gram unsalted butter
- 300 gram milk chocolate
- Sedikit garam kristal (BUKAN garam dapur ya, plis!)

Selanjutnya?
Mari singsingkan lengan baju dan olah bahan-bahannya!

Mula-mula patahkan dark chocolate menjadi bagian-bagian kecil. Akan lebih enak kalau cokelatnya dimasukkan kulkas sebentar agar mengeras, jadi saat dipotek akan lebih mudah dan keluar bunyi lirih 'krek, krek' yang memuaskan jiwa. Hohoho. #BakatPsikopat


Nah, kalau sudah... Berikutnya masukkan unsalted butter dan double cream ke dalam panci yang dipanaskan di atas kompor dengan api sedang. Agak  kecil juga nggak apa-apa. Pokoknya jangan sampai apinya kegedean. Aduk pelan sampai semuanya leleh dan tercampur rata.


Setelah menyatu, angkat dari kompor (jangan lupa matiin apinya) lalu tuang pelan-pelan ke atas dark chocolate yang tadi sudah dipotek-potek kecil. Nah, jadi setelah beres matah-matahin cokelat, taruh potongannya di atas wadah tahan panas ya... soalnya bakal disiram sama melted butter panas. Nggak lucu kalau tiba-tiba mangkuk atau baskom kita penyok kan.


Nanti cokelatnya bakal meleleh sendiri karena kena kontak panas dengan campuran butter + double cream. Tarik napas dalam-dalam, aduk dengan lemah lembut sampai campurannya melembut dan warnanya berubah berkilau eksotis kayak kulit Tara Basro.


Sekarang biarkan adonannya dingin dulu. Supaya agak memadat dan nantinya akan lebih mudah untuk dibentuk. Masukkan ke dalam kulkas selama beberapa jam (sambil nunggu, bisa nonton film-film downloadan dulu satu atau dua biji), dan setelah dirasa cukup keras, bentuk bulat-bulat dengan tangan.

Kerjakan satu-satu. Bulatkan. Bulatkan. Bulatkan. Ulangi terus sampai adonan cokelatnya habis. Atau minimal, sampai kesabaran kalian yang habis.

Ini kan niatnya dibuat bite-sized, ya. Agar ukurannya lebih stabil, silakan pakai sendok kecil (boleh sendok teh atau sendok makan, siapa tahu mulut kalian lebih spacey) untuk membantu mengambil adonan sebelum dibulatkan. Tapi ya asalkan jangan sendok nasi saja, lah. Apalagi sendok pasir???

Bola-bola yang sudah jadi bisa ditaruh di atas nampan beralas aluminium foil atau kertas roti. Nggak dialasin pun nggak apa-apa sih... tapi karena saya orangnya males beres-beres (baca: cuci piring kebanyakan)...

Well.
*shrugs nonchalantly*


Lempar lagi nampan berisi bola-bola kecil itu ke kulkas sebelum mereka jadi lembek (telapak tangan manusia itu suhunya lumayan panas lho). Apakah kita sudah kelar? Oh, tentu tidak. Masih ada milk chocolate yang harus diurus untuk lapisan luar alias coating.

Here we go again.


Lelehkan cokelat susu yang tadi dipersiapkan di dalam sebuah mangkok. Caranya? Tuang air panas ke dalam panci, lalu taruh mangkok berisi potekan-potekan cokelat susu dan aduk-aduk sampai mencair. Langsung angkat dari panci begitu semuanya sudah leleh supaya suhu cokelat cairnya agak mendingin.


Next step: dunk your refrigerated choco balls into the melted milk chocolate! Jangan sekaligus diceburin semuanya, nanti nempel. Pelan-pelan, dikit-dikit, bertahap. Jika kalian bisa sabar ngebuletin bola-bola tadi satu per satu, berarti melapisi mereka sekali lagi juga pasti mampu! Semangat!


Setelah beres, taburkan garam kristal secara merata.
INGAT: taburkan ya. Jangan dituangin.

Sprinkle it away!


Kelihatan kan bedanya sama yang foto di atas tadi? Ngomong-ngomong, naburin garemnya jangan kebanyakan juga ya. Keasinan nanti. Kita bikin cemilan cokelat, bukan bakwan.

When you're done with this task, you're good to go! Place these babies back into the fridge for a couple of hours before placing them into small bowl, tea cups, or cute mugs. Iya, wadahnya harus bagus. Biar makin semangat makannya. Yey. (Gini kok mau protes pas dibilang gembrotan sama mas-mas coworker.)


For you guys who don't own an oven, or only possess small kitchen, this is a good recipe to try. Seriously, it's a freaking heaven in tiny bits.

z. d. imama