Friday, 22 July 2016

A Country Where No One Apologizes

Friday, July 22, 2016 1

Hari ini saya ditabrak motor.
And sadly, this is not a work of fiction.
(Ditabrak motor itu, ternyata, selain sakit juga bikin trauma, Jendral!!)

Tempat kejadian perkara adalah di sebuah trotoar yang terletak di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Waktu peristiwa... yah beberapa menit sebelum jam satu siang, lah, karena pada saat itu saya baru saja selesai makan siang dan hendak balik ke kantor. Sebagai pejalan kaki yang baik, tentu saja saya menggunakan trotoar. Langkah kaki saya memang agak terburu-buru karena kondisi langit mulai menunjukkan tanda-tanda mau hujan.

Warnanya sekelam hatimu ~

(Foto ini diambil persis saat saya hendak keluar dari gedung tempat saya makan siang, beberapa menit sebelum insiden berlangsung.)

Mungkin ada yang bertanya-tanya, bagaimana saya bisa ditabrak motor? Jawabannya sederhana: pengendara motor keparat itu naik ke trotoar (kencang pula jalannya!) demi menghindari kepadatan lalu lintas. dia mendadak muncul dari belokan jalan dan langsung dengan seenaknya masuk ke trotoar tanpa mengurangi kecepatan. Padahal dari arah berlawanan ada saya yang tengah berjalan kaki, campur lari-lari kecil. Mendung, euy.

Ya begitulah. Lanjutannya sudah bisa ditebak. Hal ini berujung saya dipulangkan lebih cepat dari kantor karena kaki penuh lecet dan memar akibat benturan keras. In a normal circumstance, I will definitely shout a yay for this, though...

Howeverwhat i remember most from this unfortunate happening is that the motorbike driver never once bother to open his helmet and apologize to me. He hit me hard and yet all he did was gave me a quick glance before picking up speed and ran away. Saya tahu dia tidak pernah bermaksud menabrak orang, tapi fakta bahwa saya kena tabrak gara-gara dia melanggar aturan lalu lintas (hello... motor masuk trotoar, anyone?) tetap valid.

Meskipun tidak sengaja, bukan berarti sama sekali tidak ada yang salah.

Pada kasus kali ini, saya adalah pihak yang dirugikan.

And this got me thinking. Our people seem to rarely apologize, even though they know they are doing something wrongOh wait, or are we more unwilling to apologize when we realize perfectly that we are at fault? Because, come on, you know we can find so many examples. Orang tua yang mengajarkan anak-anaknya memarahi kaki meja atau ujung karpet ketika mereka jatuh tersandung. Ibu-ibu penyerobot antrian yang justru marah ketika ditegur. Golongan tukang ngutang yang lebih galak dan sewot kepada yang dipinjami uang dan bukannya sebaliknya. hingga koruptor miliaran rupiah yang kedoknya terbongkar tetapi malah berkata, "Ini cobaan dari Allah," sewaktu disorot kamera pers.

Saya bukan komika, tapi saya pun heran, kenapa sebegitu enggannya meminta maaf? Bahkan ketika jelas-jelas ada pihak lain yang telah dicelakakan (minimal dirugikan) karena sikap, perilaku, atau perbuatan kita? kenapa kerap kali, saat akhirnya bersedia meminta maaf, masih harus diikuti dengan lusinan justifikasi? Is admitting that we are wrong also means that we are admitting 'defeat'? Really? Are we on ego competition 24/7?

For all of you who mutter, "Nggak kok... gue kalau salah selalu minta maaf", then good. Keep that up.

Seseorang yang saya kenal pernah mengatakan bahwa dunia ini (atau Indonesia, untuk lingkup yang sedikit menyempit) jauh lebih membutuhkan orang baik dibandingkan orang-orang cerdas dan hebat. I always think that her words are true to a certain extend, but today... I guess I finally understand it completely.

Sometimes, we just want to hear an apology.

Sebagai pihak yang mendapat dampak tidak menyenangkan, kita hanya ingin mendapat kata "Maaf ya" dari orang terkait. Peristiwanya memang sudah lewat, semua sudah terlanjur terjadi tanpa bisa diutak-utik lagi, dan barangkali―barangkali―kita tidak punya pilihan lain kecuali memaafkan. Namun tetap saja permintaan maaf itu ingin kita dengar. Alasannya?

I don't know about you guys, but to me, hearing an apology means that the other party acknowledges our pain, our unpleasant experience, our loss. They acknowledge their wrongdoing. They embrace that. They appreciate what we feel regarding the situation. That's why i respect people who aren't too proud to apologize, and I always try to do the same myself when i'm at fault.

(But please feel free pointing out to me what I do wrong, in case I am not aware of it.)

To end this post, untuk mas-mas atau bapak-bapak yang tadi menabrak saya di trotoar jalanan sudirman dan kabur tanpa minta maaf (and I swear I could hear his awkward "Hehehehe..." laugh coming under his helmet), semoga Anda tidak akan pernah membahayakan orang lain lagi. 

z. d. imama

Wednesday, 20 July 2016

2012

Wednesday, July 20, 2016 1

Saya sering mengatakan bahwa saya tidak punya penyesalan. Seringkali pula, bersamaan dengan kalimat itu terlontar keluar dari mulut, saya sedikit berbohong. Berbohong, karena sebenarnya langkah-langkah hidup saya sudah keluar jalur, JAUH sekali dari yang mulanya saya bayangkan, khayalkan, imajinasikan. And I don't know how, or if it's possible, to get back on track. Itu adalah hal yang patut disesalkan, kan?

Namun hanya sedikit, sebab di tengah-tengah tersesat ini saya menemukan banyak hal-hal yang cukup baik. I am not 100% doomed, or miserable. I have graduated from a relatively good university and landed myself a job even before the graduation ceremony was held. Saying that I have a miserable life would mean that I'm an ungrateful bitch. Tetapi jika ada malaikat, atau jin, atau Doraemon yang mendadak muncul kemudian menanyakan apakah ada bagian hidup yang ingin saya rombak... maka jawabannya adalah:

"Ya."

Saya ingin kembali ke tahun 2012.

Mengulang hidup saya, mundur ke tiga setengah tahun silam.

Kembali ke masa-masa saya masih dipusingkan dengan mencari universitas untuk kuliah sekaligus mempersiapkan diri menghadapi Ujian Nasional. Because maybe I would change my college major, or finally I would muster enough guts to try undergoing Monbukagakusho scholarships selection exams for real. Maybe I would make better life decisions, not some rushed choices that get me stranded later on. Maybe I would dare to be involved in various shits I was not courageous enough to do.

Namanya juga manusia. Tidak lepas dari kesalahan, tidak aneh pula jika terperosok dalam keputusan yang sembrono. Tapi waktu itu saya tidak tahu kalau satu pilihan tolol yang saya lakukan akan mengubah hampir semua jalan cerita hidup dengan trajektori amat sangat off-track. Kemudian diikuti dengan keputusan-keputusan follow-up yang terus terang sama parahnya, sehingga saat pada akhirnya saya menyadari apa yang ada di sekeliling, semuanya sudah tertutup kabut.

I can see no way back.

Waktu itu yang saya pikirkan hanyalah bagaimana pergi menghindarimu. Bagaimana caranya agar tidak perlu melihat sosokmu. Saya tidak peduli di mana. Selama tidak ada peluang berpapasan kamu tiba-tiba, di mana pun bukan masalah. Asalkan tidak harus mendengar kabarmu dari bisikan gosip orang-orang di sekitar, saya pikir sudah cukup. Dan beberapa tahun kemudian, barulah saya menyadari kebodohan besar itu. Seberapa tololkah saya, dengan sukarela menjadikan kamu poros dari pilihan-pilihan besar dalam hidup? Sekarang siapa lagi yang bisa disalahkan selain diri saya sendiri, yang tanpa pikir panjang menyematkan kehormatan kepadamu untuk secara tidak langsung "mengontrol" perjalanan saya?

Langkah saya kini banyak diliputi kebingungan. Keraguan. Kepanikan. Tersendat. Berkubang dalam tempat asing yang tidak saya kenali, menyebabkan satu-satunya tujuan saya setiap hari hanyalah satu: bertahan hidup. Berusaha agar tidak tumbang, tidak kalah dipecundangi ibukota dan segala hal yang jauh lebih perkasa.

Saya ingin menyalahkan kamu atas semua ini. Oh, I wish I could. Tapi sayangnya, kamu tidak bisa disalahkan. Sebab semua tindakan idiot dan kebodohan ini adalah murni milik saya. Buatan saya. Ingin sekali pula rasanya, saya meratap. Mengamuk. Menangis. Berteriak. Menyesali betapa bego dan naifnya saya... tiga setengah tahun silam. Tapi sebagaimana tidak ada Doraemon yang menawarkan mengulang waktu, tidak ada pula detik-detik berharga yang masih bisa dibuang percuma untuk terpekur menatap sepasang kaki saya yang babak belur karena salah jalan. Tagihan yang dikirimkan oleh kesalahan tiga setengah tahun lalu sudah terlalu mahal. Nyaris tidak sanggup saya bayar.

So today, I grit my teeth. Hard.
And buck up.

As I usually do.

z. d. imama


Friday, 15 July 2016

NO IMMORTAL

Friday, July 15, 2016 0

My uncle passed away yesterday.

He was my mom's older brother, and I know was that they were very close. But I didn't hear the news from my parents, let alone my mother. Maybe she was busy handling the funeral, or still was devastated by this loss. Either way, I try to understand the reason her cell-phone was turned off the whole day... even though it made me unable to reach her.

Last night I spent my time thinking. Got my brain working and reminiscing the days when that man was still alive, healthy, and laughing. When I was a little kid, my uncle was the one who most frequently took me out for picnics, visiting various place, or simply having sleepover at his family's house, playing with thirteen (!!) cats his family owned.

He was a funny man. Like, REAL funny. The kind of person who knows how to liven up the crowd, throwing jokes so silly and hyperbolic we cannot know if they are real or just made-up stories (and actually we don't really care even if those are lies).


One of my long-time favorite jokes of his is this one:

It happened when we held an annual family gathering, some days after Eid, and my uncle arrived late. As his closest sister, my mom was the one who dared enough to begin scolding him. (Pardon me, but these dialogue parts will be written in Javanese. Just because.)

"MAS, KOK SUWE MEN KOWE SOKO NGENDI WAE?" screeched my mom.
"Mobilku ndekmau mogok ning tengah ndalan."
"Hah? Lha terus piye?"

So my uncle sat, joining the rest of our extended family members, and started to talk. "Dadi ki mobilku ndekmau mogok ning tengah ndalan. Ora gelem di-starter, padahal posisine ning tengah-tengah lha wong aku durung sempet minggirke."

My dad looked interested. "Lha terus piye, Mas?"

"Pas aku lagi mumet mikir piye carane minggirke mobil,ono wong numpak Alphard ning mburi ngebal-ngebel wae marai soyo kemrungsung. Niate meh takjarne wae, lha kok suwe-suwe wonge metu seko mobil terus marani aku."

At this point, everyone in the room looked at him enthusiastically, impatient to hear more.

"Wonge nesu-nesu. Muni, 'Bapak ini apa-apaan, mobilnya menghalangi jalan!' karo malangkrik, gayane sajak bos. Aku melu metu soko mobil. Kene, takladeni!"

"Awakmu muni opo, Mas?" asked my mom.

"Aku nesu genti! 'Bapak nggak lihat mobil saya mogok? Bukannya dibantu, ditanya ada masalah apa malah dimarah-marahi. BAPAK PIKIR SAYA NGGAK MAU PUNYA MOBIL BAGUS KAYAK ALPHARD? ADEM, PAKE AC, MESINNYA BAGUS... Saya juga mau, Pak! Tapi ya gimana, mobil saya adanya butut begini!'"

...And apparently, the man with a Toyota Alphard ended up helping my uncle pushing his car to the left side of the road.

___

Thinking about memories with my uncle last night brought a painful clench inside my chest. He was still a little over 55. He should live for two more decades or so. But then, like a thunderbolt, we were told by the doctors that he got cancer. Last stage.

So everything went downhill pretty fast.

Last night, being all by myself in a quiet room made me remember, that there were times when I was told about someone's passing but didn't feel anything. And I guess that probably it's because I didn't have many things to remember about them. I possess no meaningful memories of them, good or bad. I have memories about my uncle. Some are good, some are not so great. Yet they are meaningful, and that's what makes me capable of feeling sorry.

However, as I savored the pang of loss spreading across my chest, I came to realization that, 'if it makes me sad already when an uncle of mine is gone forever, how would it feel when the time comes for my own family? Nuclear family? My father, mother, and sister?'

We're no immortals.

There will be the moment when our clock stops ticking. And we will be helpless about it. I will be helpless about it.

Suddenly I wanted to go home.


z. d. imama

Tuesday, 5 July 2016

Everything Has Changed

Tuesday, July 05, 2016 0

Besok sudah hari raya Idulfitri.
(Yep, penulisan yang benar secara ejaan bahasa Indonesia, "idul" dan "fitri" tidak dipisah.)

Mungkin sudah agak terlambat kalau saya mau ngobrol singkat tentang apa yang saya alami dan rasakan di sepanjang bulan Ramadhan tahun ini. Tapi ya nggak apa-apa, lah. blog-blog sendiri juga... mau ngomongin Valentine di malam Lebaran pun sepertinya tidak ada yang akan komentar, protes, apalagi bikin-bikin petisi.
*kemudian dihujat netizen*


Well, it's not that you didn't know it already... but
We human tend to take good things for granted.

Begitu pula dengan saya.

Ini bulan Ramadhan pertama selepas lulus kuliah, and... oh boy I very much miss my old college days. Dulu ketika masih mahasiswi kampus kuning, saya bisa menghabiskan waktu sebulan penuh bermalas-malasan di rumah (kalau lagi nggak ada part-time job kecil-kecilan). Ketemu orang tua dan adik, sahur bareng, berbuka puasa bareng, tarawih bareng... semuanya dihabiskan bersama keluarga. Masih sempat pula sok-sokan ikut momen buka puasa angkatan SMA atau SMP (yang mana sejujurnya jumlah orang yang tidak ingin saya temui jauh lebih banyak dari yang benar-benar ingin saya jumpai).


Tapi sekarang nggak bisa begitu lagi. Dengan office life yang mengharuskan saya pulang jam enam sore bahkan ketika Ramadhan, boro-boro ngendon di rumah sepanjang puasa... bisa ikutan buka bersama temen-temen aja enggak. LOL. Saya baru bisa berada di rumah H-3 sebelum hari raya Idulfitri, dan harus sudah kembali lagi ke perantauan H+2.

It's only a simple thing,
But unexpectedly, it gives my heart quite a sting.

z. d. imama

Monday, 4 July 2016

All You Need is KILL: you had one job

Monday, July 04, 2016 0

It's been AGES since the last time I talk about my favorite things. Although I realize that many of you do not really care, but talking (babbling?) about hobbies is actually kinda a good therapy. Ya daripada capek menghujat anggota DPR terus... mendingan kan ngomongin hal-hal yang kita suka.

People who know me for years would know that I love books. And in this post, I will speak some bits about my latest read (and believe me: it's a good one). So, let me introduce you to this baby:

Sakurazaka Hiroshi's "All You Need is Kill".

It's not exactly a new kid on the block because All You Need is KILL was released first in 2004. And to be honest, I never knew about this novel before Tom Cruise and Emily Blunt's movie "Edge of Tomorrow" release back in 2013. The Hollywood adaptation was interesting enough and I got some good laughs, so I decided to check on the original material if I managed to get my hands on it.

....and the process took almost 3 years.

In my defense, the novel can't be found in my poor, third-world country Indonesia so I have to purchase it online. And to follow that defense, back then I cannot provide myself enough money to buy imported books (I have a job now so I'm allowed to step up my game, right?). By the way, I got the book from this page of bookdepository.com

Novel ini ternyata cukup booming di Jepang sampai-sampai berhasil diadaptasi ke dalam tiga bentuk medium berbeda. Ada graphic novel (tahu kan, novel yang ada ilustrasinya itu lho), kemudian film layar lebar Hollywood sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, dan yang terakhir adalah manga, dengan Obata Takeshi sebagai mangaka-nya. The result is absolutely fucking gorgeous.


The storyline of source material (novel) and Hollywood movie adaptation is pretty much different, so I will not talk about that. What I want to ramble on about is how the novel and manga present themselves differently (even though they are basically telling the same story) and which that I like more.

Let's recall All You Need is Kill's plot briefly. 

The story revolves around a green Japanese military recruit named Kiriya Keiji, more or less an eighteen year-old guy. The world of mankind is currently at war, fighting a high-tech alien species called Mimics. In his first deployment to Kotoiushi Island, Keiji is killed in action after taking down a Mimic, but then he finds himself back in his bunk bed at military base... a day earlier before his first battle begins.

So basically All You Need is Kill is a sci-fi novel meets time-traveling (looping?) theme. And boy was it a good read. The pacing is great, the narrative is engaging and addicting I had a hard time putting the book down. The heroine, a Caucasian named Rita Vrataski is not useless character made just for the sake of being "the girl/the love interest". Not to mention that every page seems to ooze testosterone all over the floor; everything sounds very boyish and there are LOTS of profanities. LOL.

And don't forget this: the author decided to choose Indonesia as the very first nation to get attacked by alien Mimics' invasion on earth. Actually, I don't really mind if it comes true.

What a GNFI material.

If I have to choose between the novel and manga adaptation, I would undoubtedly choose the novel. Sure, the manga's art is awesome, but I think Obata-sensei over-romanticizes scenes between Keiji and Rita when he depicts them. Perhaps this is just me, but it makes the focus of the whole story kinda turns into a cheap, instant, silly romance.

However, the novel's narratives makes it so good. Somehow as I reader I come to realize that whatever thing happens between Keiji and Rita is not actual love (even when Keiji thinks so). It is purely their way to cope up with their lonesomeness. Sebab pada saat itu, tidak ada orang lain di dunia yang mengerti apa yang mereka alami, tidak ada yang memahami apa yang mereka rasakan kecuali satu sama lain. Mereka bukan jatuh cinta. Mereka hanya membutuhkan satu sama lain dan keduanya memutuskan menerjemahkan itu sebagai cinta.. karena interpretasi itu akan memudahkan segalanya.

I finished this book in three mornings. Nggak terlalu tebal juga sih bukunya, tapi karena kesempatan saya baca hanya pas di kendaraan umum sewaktu berangkat kerja, saya rasa lumayan cepat juga buku ini selesai dibaca. Dan jika saya harus memberi penilaian dari skala satu sampai lima bintang...

I would definitely give All You Need is Kill (novel) a 4/5. Four out of five. This shit is THAT cool. Damn.

z. d. imama