Wednesday 20 July 2016

2012


Saya sering mengatakan bahwa saya tidak punya penyesalan. Seringkali pula, bersamaan dengan kalimat itu terlontar keluar dari mulut, saya sedikit berbohong. Berbohong, karena sebenarnya langkah-langkah hidup saya sudah keluar jalur, JAUH sekali dari yang mulanya saya bayangkan, khayalkan, imajinasikan. And I don't know how, or if it's possible, to get back on track. Itu adalah hal yang patut disesalkan, kan?

Namun hanya sedikit, sebab di tengah-tengah tersesat ini saya menemukan banyak hal-hal yang cukup baik. I am not 100% doomed, or miserable. I have graduated from a relatively good university and landed myself a job even before the graduation ceremony was held. Saying that I have a miserable life would mean that I'm an ungrateful bitch. Tetapi jika ada malaikat, atau jin, atau Doraemon yang mendadak muncul kemudian menanyakan apakah ada bagian hidup yang ingin saya rombak... maka jawabannya adalah:

"Ya."

Saya ingin kembali ke tahun 2012.

Mengulang hidup saya, mundur ke tiga setengah tahun silam.

Kembali ke masa-masa saya masih dipusingkan dengan mencari universitas untuk kuliah sekaligus mempersiapkan diri menghadapi Ujian Nasional. Because maybe I would change my college major, or finally I would muster enough guts to try undergoing Monbukagakusho scholarships selection exams for real. Maybe I would make better life decisions, not some rushed choices that get me stranded later on. Maybe I would dare to be involved in various shits I was not courageous enough to do.

Namanya juga manusia. Tidak lepas dari kesalahan, tidak aneh pula jika terperosok dalam keputusan yang sembrono. Tapi waktu itu saya tidak tahu kalau satu pilihan tolol yang saya lakukan akan mengubah hampir semua jalan cerita hidup dengan trajektori amat sangat off-track. Kemudian diikuti dengan keputusan-keputusan follow-up yang terus terang sama parahnya, sehingga saat pada akhirnya saya menyadari apa yang ada di sekeliling, semuanya sudah tertutup kabut.

I can see no way back.

Waktu itu yang saya pikirkan hanyalah bagaimana pergi menghindarimu. Bagaimana caranya agar tidak perlu melihat sosokmu. Saya tidak peduli di mana. Selama tidak ada peluang berpapasan kamu tiba-tiba, di mana pun bukan masalah. Asalkan tidak harus mendengar kabarmu dari bisikan gosip orang-orang di sekitar, saya pikir sudah cukup. Dan beberapa tahun kemudian, barulah saya menyadari kebodohan besar itu. Seberapa tololkah saya, dengan sukarela menjadikan kamu poros dari pilihan-pilihan besar dalam hidup? Sekarang siapa lagi yang bisa disalahkan selain diri saya sendiri, yang tanpa pikir panjang menyematkan kehormatan kepadamu untuk secara tidak langsung "mengontrol" perjalanan saya?

Langkah saya kini banyak diliputi kebingungan. Keraguan. Kepanikan. Tersendat. Berkubang dalam tempat asing yang tidak saya kenali, menyebabkan satu-satunya tujuan saya setiap hari hanyalah satu: bertahan hidup. Berusaha agar tidak tumbang, tidak kalah dipecundangi ibukota dan segala hal yang jauh lebih perkasa.

Saya ingin menyalahkan kamu atas semua ini. Oh, I wish I could. Tapi sayangnya, kamu tidak bisa disalahkan. Sebab semua tindakan idiot dan kebodohan ini adalah murni milik saya. Buatan saya. Ingin sekali pula rasanya, saya meratap. Mengamuk. Menangis. Berteriak. Menyesali betapa bego dan naifnya saya... tiga setengah tahun silam. Tapi sebagaimana tidak ada Doraemon yang menawarkan mengulang waktu, tidak ada pula detik-detik berharga yang masih bisa dibuang percuma untuk terpekur menatap sepasang kaki saya yang babak belur karena salah jalan. Tagihan yang dikirimkan oleh kesalahan tiga setengah tahun lalu sudah terlalu mahal. Nyaris tidak sanggup saya bayar.

So today, I grit my teeth. Hard.
And buck up.

As I usually do.

z. d. imama


1 comment:

  1. gw gak tau,(inti) permasalahannya apa.tapi waktu dan kejadian selalu memberikan pelajaran berharga ,sehingga kita menjadi pribadi yang kuat dan berpegalaman.

    bagus banget jadi pembelajaran,,heheh

    ReplyDelete