Friday 22 December 2017

DWP: an event review


This is not the DWP you're looking for. Trust me. Sebagai seonggok manusia tidak kekinian dan krisis pergaulan, Dibyo Warehouse Project was the only "DWP" I have ever attended (instead of the popular and so-called controversial Djakarta Warehouse Project). Berbeda dengan Djakarta Warehouse Project yang merupakan acara publik sehingga terbuka untuk setiap masyarakat yang sama-sama terbuka baik ekonomi, rohani, maupun jasmani, Dibyo Warehouse Project boleh dikatakan sangat segmented, elitis, dan jauh lebih memiliki sisi historis. Hal-hal tersebut akan saya bahas di tulisan yang sebenarnya terlambat dipublikasikan 4 tahun ini. Maklum lah.. semasa mahasiswa, saya sangat fakir koneksi internet.

Why segmented?

Dibyo Warehouse Project istilah rip-off yang populer beberapa tahun terakhir untuk menyebut paduan suara kolosal mahasiswa-mahasiswi baru sebuah universitas berpusat di Depok dengan jaket almamater warna kuning terang kayak Golkar. Ya apa lagi kalau bukan Universitas Indonesia. Jadi kalau tidak pernah kuliah strata 1 atau vokasi di UI maka tidak akan merasakan pengalaman sebagai peserta Dibyo Warehouse Project, yang mana latihan paduan suaranya biasa dileburkan ke dalam serangkaian acara kegiatan Orientasi Belajar Mahasiswa (OBM). Hasil dari latihan keroyokan bersama ribuan mahasiwa baru akan berfaedah ketika hari upacara wisuda yang rata-rata digelar akhir bulan Agustus.

Entah ya, mungkin sekarang sistemnya sudah agak berbeda, atau diperbaiki untuk mencegah gerombolan-gerombolan Padus Break alias bocah-bocah yang ingin melarikan diri dari latihan paduan suara. Tapi ketika saya masih mahasiwa baru, lumayan banyak juga kalangan yang batang hidungnya nggak kelihatan saat latihan. Bolos, gitu. Jadi biarpun jumlah pesertanya cuma terbatas di mahasiswa baru UI, masih harus dikurangi siluman-siluman dan ninja-ninja yang mendadak lenyap ketika jadwal OBM-nya latihan paduan suara. Belum lagi pasukan tidak kontributif yang hadir untuk sekadar mangap-mangap doang tanpa suara kayak ikan mujair, nggak ikut nyanyi, atau saling menggelendot manja di bahu teman kanan-kirinya sambil terkantuk-kantuk seperti saat sesi khotbah Jumat.

Thus, the bunch who got the full experience is arguable very, very segmented.

The so-called poster Dibyo Warehouse Project 2015.

"The biggest" indeed.

Why... 'Dibyo'?

Maestro tunggal legendaris tak tergantikan yang memimpin ribuan precil-precil mahasiwa baru berlatih paduan suara di Balairung kampus UI adalah Drs. AG. Sudibyo, M.Si, yang supaya ikrib, dipanggil "Pak Dibyo" oleh semua pihak. Berdasarkan pengamatan pribadi, Pak Dibyo justru merupakan orang yang semangatnya paling tinggi dibanding sekian banyak anak-anak yang bertebaran di lokasi latihan paduan suara. Mahasiswa baru banyak yang ngantukan, kadang males-malesan, eh Pak Dibyo malah garang berapi-api penuh energi. Jadi tengsin sendiri. 

Usut punya usut, paling tidak sudah ada 34 angkatan yang pernah digembleng paduan suara mahasiswa oleh Pak Dibyo. Gile. Nggak bosen apa ya. Sungguh sebuah dedikasi. Saking melegendanya peranan beliau dari tahun ke tahun, banyak anak-anak yang menyematkan gelar tidak resmi kepada Pak Dibyo sebagai "Dekan Balairung". Pokoknya di Balairung kampus UI, kekuasaan Pak Dibyo bersifat absolut. Zona teritori eksklusif, lah. 

Why so memorable?

Meski perlu disadari bahwa tingkat kenangan antar mahasiswa berbeda-beda (tergantung kekhusyukan dan totalitas dalam mengikuti paduan suara serta mematuhi titah Pak Dibyo), saya percaya banyak sekali hal-hal tentang Dibyo Warehouse Project yang sukar dikelupas dari ingatan. Apalagi jika kalian sama seperti saya, yang mengalami tiga fase penting sepanjang kegiatan Dibyo Warehouse Project

Hah? Fase apaan?

First phase: The Initial Reluctance. Jadwal paduan suara yang tidak jarang jatuh di hari Sabtu (atau Minggu) jelas membuat siapa pun ingin guling-guling di lantai dan mengeluarkan raungan curhat seperti, "Hadeeeeeh maleeeeees!!!" atau "Gue mau libuuuuur!! OBM capeeeeek!" dari lubuk hati. Belum lagi pakaian yang harus putih-putih sementara lantai Balairung UI kadang nggak sebersih ubin iklan cairan pembersih di televisi. Nempel deh tuh noda-noda sepele di pantat lah. Di ujung celana atau lengan baju, lah. Nguceknya pegel, Jenderal!

Waktu masuk Balairung untuk latihan perdana, terus terang saya masih ogah-ogahan. Setengah hati. Bahkan ketika Pak Dibyo membagi-bagi suara (saya masuk tim alto) dan memberi contoh bagaimana menyanyikan bagian-bagian lagu satu per satu, separuh nyawa saya masih tercecer di atas kasur gembos dalam kamar asrama mahasiswa. Lho, sekarang sudah bagiannya alto nyanyi ya. Oke. Satu... dua... tiga―"Gaudeaamus igituuur iu venes dum sumuuuus..."

To Pak Dibyo we newbies pledge loyalty.

And then like an awakening whip across my ass (pardon the language), came the second phase: The Moment of Renaissance. Titik kehadirannya bisa bervariasi bagi tiap orang, tapi berdasarkan pengalaman pribadi, momen yang menjungkirbalikkan dunia ini menyeruak ke permukaan tatkala Pak Dibyo selesai mengajarkan bagaimana cara menyanyikan bagian-bagian lagu ke masing-masing divisi lalu beliau berkata, "Sekarang sama-sama semuanya nyanyi ya". Tak lama kemudian, suara sopran, alto, tenor, dan bas memenuhi seisi Balairung. 

DAAAAAAMMMMNNN.

THAT. WAS. FUCKING. LIT????? THIS. MIGHT. BE. SO. MUCH. FUN????? Saya melek seketika. Gelegar keempat jenis suara dari ribuan mahasiswa yang menyatu ternyata jauh melebihi ekspektasi. Pokoknya memicu halu-halu nggak tahu malu gitu deh, sok berandai-andai, jangan-jangan diam-diam punya bakat di bidang tarik suara padahal seumur-umur nyanyi cuma di kamar mandi. Genderang UI was like another Maju Tak Gentar, Himne Almamater was so calming and peaceful (that "..dan mengabdi Tuhan, dan mengabdi bangsa, dan negara Indonesia" part still gets me chills), Gaudeamus igitur felt like a cult song for scholars. Ditambah lagi terdapat lagu-lagu yang selama ini rasanya biasa saja, namun begitu dinyanyikan bareng-bareng seolah-olah cool level-nya melesat sampai orbit Satelit Palapa. Yes, you know I'm talking about Rayuan Pulau Kelapa, and especially Keroncong Kemayoran (Balairung UI remix ver.), which arguably became the most popular piece amongst the students.


Awan putih.. (Hey!)
Terbang melayang (Hey! Hey!)
Kawan sejati (Hey!)
Tetap terbayang...

Who the hell can resist such unbelievably catchy bass drop? That being said, the third phase is what I experienced after the whole thing is done: The Denial that It was Over. At this point, most likely while munching on the free lunch box given to us―the student-slash-choir troops―, many people would say things like, "Aduuh pengin latihan padus lagiiii..." and later on they browse YouTube for documentary videos of Dibyo Warehouse Project. Perserikatan mahasiswa gagal move on dari paduan suara wisuda. Salah satunya ya saya.

Albeit pretty much segmented, therefore making it a matter you can't simply talk about to everyone, Dibyo Warehouse Project is a rare experience, and I'm glad that I got to know its taste. It was spectacular in its simplicity.

z. d. imama

No comments:

Post a Comment