Friday 30 June 2017

What I miss from hometown


Saya ini gadis dusun.

Dan sepertinya nyaris semua orang yang pernah berbicara langsung dengan saya menyetujui hal ini. Saya ndeso dan medhok, dan tidak ragu mengakui bahwa nyatanya memang anak kampung yang merantau ke ibukota. Maka, salah satu kegiatan khas anak rantau―yang belum lama ini dilakukan berbondong-bondong oleh warga Jakarta dan kota-kota besar lainnya―adalah pulang kampung. Mudik.

Sebagai golongan manusia light traveler yang paling enggan membawa banyak barang saat bepergian jauh, packing tidak pernah menjadi persoalan. Justru perkara terbesar adalah waktu tempuh untuk mudik. Berhubung gembel dan hanya mampu beli tiket kereta ekonomi, saya mau tidak mau harus bersahabat dengan pegal-pegal akibat duduk di kursi selama kurang lebih sepuluh jam. Makanya... mengingat itu, kadang jadi agak malas untuk pulang kampung.

Tapi tentu saja ada beberapa hal-hal yang menjadi motivasi untuk kembali ke kota tempat kelahiran, yang akan saya sebutkan di bawah ini. Perlu diingat bahwa segala yang tertera nanti sifatnya sangat subjektif. Cuma bagi saya saja. Oh ya, dan saya tidak akan menuliskan "Bertemu keluarga" atau sejenisnya. Jangan anggap saya anak durhaka, oke? Sebab menurut saya, keinginan berjumpa keluarga bukan termasuk motivasi pulang kampung lagi. Itu sih, tujuannya.

Jadi, apa yang saya rindukan saat mudik?

1. Tempat tidur sendiri.

Bukan kamar saya.

Tempat tidur saya di kampung ukurannya jauh lebih luas dibandingkan yang di kos. Sehingga setiap kali pulang ke rumah, rasanya seperti upgrade dari kelas ekonomi ke... yah, eksekutif. Mau guling-guling kayak apa pun aman. Selain itu, barangkali ada faktor sentimental tersendiri yang membuat saya berpikir bahwa kasur yang sudah saya tiduri sejak pasang pembalut saja belum bisa bener ini lebih terasa nyaman dibandingkan kasur kosan di perantauan. Sense of familiarity, kali yah?

2. Koleksi buku-buku lama.



Buku-buku saya di rumah cukup banyak, dan terus terang nilai nostalgianya juga besar. Misalnya, komik Detektif Conan yang edisi kaver klasik (warna dasar putih) dari volume 1-40, Card Captor Sakura, Detektif School Q, Animorphs, Harry Potter, pokoknya segala macam buku baik novel maupun komik yang terbit hingga tahun 2012. Membaca-baca ulang buku-buku lama milik sendiri merupakan sebuah aktivitas langganan yang nyaris tidak pernah saya lewatkan setiap kali pulang (makanya daftar buku bacaan jarang bertambah, habis kerjaannya re-reading melulu). Beberapa judul komik yang saya taruh di postingan rekomendasi shoujo manga favorit juga ada di koleksi pribadi karena sudah pernah diterbitkan di Indonesia, dan pasti jadi sasaran utama untuk dibuka-buka lagi.


3. Makanan khas kampung halaman.

Salah satu makanan yang sampai sekarang nggak ketemu di Jakarta: Timlo

Makanan ala kota Solo ya memang paling bener belinya di kota Solo. Udah. Titik. Beberapa kali mencoba mampir di sejumlah warung makan atau restoran yang menjual menu dengan embel-embel kota Solo... tapi entah kenapa rasanya tetap salah, atau justru makanan yang saya cari tidak tersedia. Worst case scenario: ada yang jual, tapi rasanya tidak enak, dan harganya sudah berkali-kali lipat lebih mahal. Mendingan nunggu kesempatan pulang kampung deh...

4. Suasana jalanan yang tidak 'buas'.

Becak ini transportasi paling nggak taat sama rambu lalu lintas.

Percaya, deh. Kalau ada warga kota Solo bilang, "Ah Solo sekarang juga macet!" tapi yang bersangkutan belum pernah bepergian ke Jakarta, atau New Delhi, apalagi New York, nggak usah terlalu meyakini kata-katanya. Apa yang dibilang 'macet' bagi orang yang mendekam di kota Solo adalah "Wah jalanannya agak rame yah" bagi warga Jakarta. Mentok-mentok yaa... 'padat merayap', lah. Perjalanan mengendarai motor dari rumah saya ke SMA, yang jaraknya kurang lebih sejauh 10 KM, bisa ditempuh sekitar 10-15 menit saja tanpa harus melanggar lampu lalu lintas atau naik ke trotoar. Kurang chill apa, coba?

Apa yang bikin kangen dari kampung halaman kalian?

z. d. imama

8 comments:

  1. Solo, suka sama tengkleng depan pasar klewer hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tengkleng di tempat lain juga banyak yang enak kok maaas... kadang-kadang sebenarnya rasanya mirip tapi kalah eksposur saja hahaha.

      Delete
  2. saya juga belum pernah nemu cabuk rambak e di jakarta :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lha yo ini. Cabuk rambak ndak ada. Bahkan karak pun nyarinya susah. Di Jakarta mentok-mentok adanya "kerupuk gendar"... yang mana ITU BUKAN KARAAAAAK 8"((((

      Delete
  3. Yang dikangenin itu kulinernya yang jarang ditemui di Jakarta, suasananya yang cocok banget buat relaksasi karena jauh dari yang namanya 4G (haha), dan keluarga di kampung. Apalagi kalau udah lama nggak pulang kampung terus ketika tiba di kampung halaman banyak komentar macam-macam, kayak "Wah sekarang tinggi banget" "Dulu kamu masih kecil sering banget nangis minta pulang loh".

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. Kampung halamanku di Jakarta. :')))

    ReplyDelete