Thursday 23 February 2017

On being a girl.


I personally think that being born as a girl means that you have to be ready for a continual struggle as long as you live. Yup. Being a girl is hard. So freaking hard. But this is my personal view, anyway, so please feel free to disagree. Or to give me a piece of your mind. Or to "correct" me if you think I'm mistaken. Yet nonetheless, I think being a girl is effing... wearying.

Saya akan menuliskan beberapa hal membuat saya berpendapat bahwa menjadi seorang perempuan itu tidak mudah. Disclaimer: basis dari postingan ini adalah pengalaman pribadi saya. If you guys experience something better, then it's good. Just... know that not everyone has the privileges, or even luck.


The monthly hassle.

Pada postingan sebelumnya sudah saya ceritakan betapa hakiki penderitaan yang saya alami setiap bulan karena menstruasi. Sebenarnya pernah periksa ke dokter, lalu diresepkan... birth control pills. Cuma masalahnya ketika mau ditebuskan ke apotek, apoteknya nggak mau ngasih karena saya tidak bisa menyerahkan kopi surat nikah yang mereka minta. Sedih banget kan. Sudah mencoba ke beberapa apotek pun hasilnya sama. Ada juga yang langsung bilang, "Wah nggak ada, Dek" saat saya tunjukkan resep.

Jadi ya sudah. Hingga saat ini pun saya masih bergelut dengan kram perut dan nyeri-nyeri (tidak) sedap ketika tamu bulanan itu datang berkunjung.

You can find Sarah's Twitter account here.

Moving on.

The blurred lines between friends or foes.

I grew up as a misfit. At school. At the neighborhood. Basically anywhere. Ketika jam istirahat saya lebih sering bersemedi di perpustakaan sekolah membaca semua koleksi buku yang ada di sana. Semasa SD, saya menerima banyak ejekan karena ukuran tubuh (bahkan sampai sekarang pun masih sering disindir-sindir oleh sejumlah orang―yang mana sama sekali tidak membantu psychological state diri ini yang naturally insecure). Bangku SMP hingga kuliah, saya tidak terlalu sering bergabung dengan circle-circle pertemanan karena entah mengapa tidak merasa nyaman. Berlama-lama nongkrong di kantin bukan hal yang menarik bagi saya. Mentok-mentok 45 menit. Itu pun sudah penuh perjuangan (biasanya saya rela memperjuangkan ini karena saya memang bokek kronis, jadi menunggu ada teman yang jajan supaya bisa dicicipin).

Jika dipikir-pikir, terakhir kali saya berada dalam 'geng' yang anggotanya perempuan semua adalah masa SMP. And in all seriousness, I never really knew who my true friends are when I was in an all-girls circle. The problem with many girls-only circles is that almost everyone is competing against almost everyone instead of supporting each other. Saya punya beberapa sahabat perempuan terbaik, tapi mereka justru hadir dalam single serving yang terpisah-pisah layaknya pisang Sunpride alih-alih satu rombongan.

Saya rasa, perempuan punya kecenderungan untuk bersikap lebih kejam justru terhadap sesama perempuan. Sedih nggak, sih? Gimana feminisme mau maju di negeri ini dan dimasyarakatkan dengan baik kalau yang (lebih) sering slut-shaming, body-shaming, bahkan victim-blaming seorang perempuan adalah perempuan juga. I've seen many girls―or womenshowing much, much less empathy to other girls/women. Nggak usah jauh-jauh deh. Itu di dalam KRL Jabodetabek, mau tahu di mana titik paling barbar dan lawless? Gerbong khusus wanita. That is where the real Hunger Games occurs.

But we have no Katniss Everdeen here.

The insanely ridiculous beauty standard.

Beberapa waktu lalu saya membaca tulisan dari dua orang yang 'berperang artikel' di Magdalene. Temanya sama: mengenai 'menjadi cantik'. Pertama, "Everyone is Beautiful: A Necessary Campaign" yang ditulis oleh Nadila Dara, seorang editor dan penulis di Female Daily Network. Well... yes. I guess that explains why she has such an opinion. Meskipun frase "Creating our own beauty standard" adalah sebuah hal yang bisa saya terima sebagai sesuatu yang cukup penting, saya tidak begitu menyetujui saat pada tulisan itu dikatakan bahwa "random standard classify them as ugly". I think the standards are not exactly 'random'. They are picked, shaped, and nurtured in the society, and my take is that beauty pageants are also preserving the so-called standards. Lha kalau memang yang diutamakan adalah tiga aspek berupa Brain, Beauty, Behavior dan semua orang (sebagaimana kata penulis artikel) sudah memiliki kecantikan dalam diri mereka masing-masing... harusnya kriteria berat dan tinggi badan nggak usah dimasukkan toh? Tapi yo ini cuma opini saya sebagai rakyat kecil.

Artikel kedua, ditulis oleh Ellyati Priyanka dan berjudul "I am a Feminist, I Stand Against 'Everyone is Beautiful' Narrative". Walau menurut saya dia tidak perlu pakai acara mendeklarasikan diri sebagai feminis di judul artikel (buat apaan sih?), isi tulisannya cukup menjelaskan bahwa berpikir "I am ugly but that is totally okay" bukan merupakan hal buruk. There is still many things we can do even when we are not considered 'beautiful', even in our own eyes. And that is perfectly fine. Kalimat penutup artikelnya yang berbunyi "We don’t always have to be beautiful, sometimes we just have to be human" juga mengingatkan saya pada seseorang yang pernah bilang bahwa jauh lebih penting menjadi seorang manusia yang baik daripada apa pun. This is more like a writing about acceptance, in my very own opinion. 


Let's jam forever to 2NE1 - Ugly.



Susah ya jadi perempuan? Bahkan urusan menjadi cantik atau tidak saja nggak pernah berhenti diperbincangkan. Hahaha. Haha. Ha.

I should go get myself some lunch.

z. d. imama

13 comments:

  1. Artikel yang patut dibaca buat mereka yang berpikir kalau laki laki lebih kuat daripada perempuan.
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    Btw, sebarbar apa sih orang orang di gerbong wanita? Lebih ganas mana sama yang naik di gerbong biasa tapi tujuan Tanah Abang? Hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tujuan (dan dari) Tanah Abang itu kalau di gerbong perempuan bisa lebih ganas 5-7 kali lipat dibandingkan di gerbong biasa. Semoga dapat menjelaskan. *drop mic*

      Delete
  2. menurut saya sih pernyataannya perlu diperluas, jikalau memang dianggap susah, ya susah jadi manusia, begitu deh

    trus yaaaa smoga urusan uterusmu yg bikin saya ngilu itu bisa terpecahkan dengan cara yg lain, sudah nyoba semacam dedaunan herbal gitu? binahong mungkin? eh daun binahong kan kalo ga salah ngobatin sgala sesuatu yg terkait luka soalnya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi-tapi-tapi Om... menstruasi kan bukan "luka"? :)))

      Delete
    2. Yaa pokoknya terkait dgn hal yg berdarah2 laah. 😔

      Delete
  3. adik kelas saya yang perempuan ada yang begitu, dan katanya, obatnya adalah menikah....
    just dont ask me if scientific explaination exists about this marriage and uterus pain...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin karena kalau sudah menikah jadi bisa beli birth control pills yang diresepkan dokter sebagai pengendali hormon, Mbak. (Kesimpulan ini ditarik berdasarkan pengalaman kampret yang dipaparkan di atas.)

      Delete
  4. Btw, aku juga dulu pas mens sakitnya amit-amit. Parah beudh. Muka pucet, muntah-muntah, dan sebagainya. Sampe akhirnya ke dokter dan dibilang adenomyosis. Kayaknya sih. Lupa. Hahaha. Anyway, obatnya disuntik KB sama dokternya. I can recommend you the doctor.

    Terus, soal tulisan ini. Agree. Totally agree. Jadi pengen nulis hal serupa yang sebenarnya bikin gelisah juga. Tapi, nanti deh ya. Gak janji. Hahaha...

    ReplyDelete
  5. Hahhahaa
    kalo yang poin pertama udah sama-sama tau laah yah..
    mens memang penderitaan utama cewe..
    Banyak banget masalahnya..
    yang sakit lha.. bocor lah..

    TIDAAAAAK...

    well,
    I really like the second point
    The blurred lines between friends or foes.
    Gua super duper duper duper duper setuju..
    Cewe memang lebih susah di mengerti dr pd cowo..
    banyak dramanya..
    acara nusuk dr blakang, ngomongin dr blakang, saling ngejudge, perang dingin, dll cuma banyak terjadi di pergaulan antar cwe..
    kalo gua liat temen-temen cowo gua, kalo mreka lg marahan, yah brantem loh, pukul, cakar, triak2..
    truz?
    balek temenan lg..
    Jarang dr mreka ada acara ngomongin orang dari blakang, dan temenan sma mreka cuman sebatas kenalan,
    and done

    ga ribet

    yaah..
    I'm a girl myself..
    Dan gua mengakui jadi cwe memang ribet..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo!
      Wah terima kasih sudah meninggalkan komentar sepanjang dan seniat ini... *terharu* #NasibBlogFakirKomen

      Rencananya tulisan ini akan dibuat 'part two'-nya, semoga berkenan mampir lagi ke blog saya :')))

      Delete
  6. Cewek emang ribet, makanya temen-temenku kebanyakan cowok. :))))

    Tapi masih ada kok temen-temen cewek yang tulus dan gak ngejudge aneh-aneh. Dan semakin dewasa ini udah pada lebih kalem ya. Keinget dulu masa SMA isinya perempuan-perempuan gahar yang suka ngelabrak dedek kelas. Sekarang yang udah jadi buibu jadi lebih manis.

    ReplyDelete