Sekitar sepertiga akhir 2016 lalu, saya membaca novel The Girl on the Train karya Paula Hawkins, yang juga merupakan best seller dan diklaim se-engaging Gone Girl dari Gillian Flynn. Buku tersebut saya beli di Gramedia Trans Studio Mall Bandung (kebetulan lagi main ke sana bersama seseorang yang sebut saja namanya A) seharga Rp169,000 dan berujung kedongkolan karena beberapa minggu kemudian saya main ke Periplus Senayan City dan mendapati bahwa buku ini sedang kena diskon menjadi Rp119,000 saja. Kampret, kembaliin gih lima puluh ribu saya...
[ GENERAL SUMMARY, (MAJOR) SPOILER-FREE ]
Summary ini akan diungkapkan seumum mungkin, sebebas spoiler mungkin, dan tentu saja dalam tempo jang sesingkat-singkatnja. Supaya nggak kepanjangan aja. Takutnya khilaf terus ngebocorin sana-sini.
The Girl on the Train mengisahkan tentang Rachel Watson, seorang janda yang dipecat dari pekerjaannya gara-gara alkoholik akut, yang menghabiskan waktu penganggurannya sehari-hari dengan naik kereta setiap pagi dan malam, seolah-olah dia masih bekerja. Hawkins mendeskripsikan Rachel ini sebagai wanita yang 'pernah atraktif' alias #PernahCakep™. Sekarang sih udah nggak menarik lagi, karena gemuk, pemabuk, dan... masih gagal move on. Iya, Rachel ini masih sering mengontak mantan suaminya, Tom, yang kini sudah beristri lagi dengan Anna (dulu selingkuhannya) dan memiliki bayi perempuan bernama Evie. Kebetulan, rumah Tom―yang dulu juga pernah jadi rumah Rachel ketika mereka masih suami-istri―letaknya dekat jalur kereta yang selalu dinaiki Rachel, yaa.. gimana mau nggak gagal move on kalau setiap hari mencekoki diri dengan menatap bangunan penuh kenangan?
The Girl on the Train mengisahkan tentang Rachel Watson, seorang janda yang dipecat dari pekerjaannya gara-gara alkoholik akut, yang menghabiskan waktu penganggurannya sehari-hari dengan naik kereta setiap pagi dan malam, seolah-olah dia masih bekerja. Hawkins mendeskripsikan Rachel ini sebagai wanita yang 'pernah atraktif' alias #PernahCakep™. Sekarang sih udah nggak menarik lagi, karena gemuk, pemabuk, dan... masih gagal move on. Iya, Rachel ini masih sering mengontak mantan suaminya, Tom, yang kini sudah beristri lagi dengan Anna (dulu selingkuhannya) dan memiliki bayi perempuan bernama Evie. Kebetulan, rumah Tom―yang dulu juga pernah jadi rumah Rachel ketika mereka masih suami-istri―letaknya dekat jalur kereta yang selalu dinaiki Rachel, yaa.. gimana mau nggak gagal move on kalau setiap hari mencekoki diri dengan menatap bangunan penuh kenangan?
Masalah muncul ketika Megan Hipwell, perempuan yang jadi tetangga Tom dan Anna, dan sosoknya kerap dilihat Rachel dari jendela kereta, dilaporkan menghilang. Merasa bisa berkontribusi sebagai saksi, Rachel dengan sukarela-setengah-sembrono (sekaligus sok iye) melibatkan diri ke dalam kasus tersebut.. yang mana ternyata justru menyebabkan segalanya makin kusut.
Mibik is lyfe.
Ketika mendengar kabar bahwa kisah ini akan diadaptasi ke layar lebar, saya cukup bersemangat walau sejak awal sudah agak gimana saat tahu bahwa materi dalam novel bakal di-Amerika-kan. Latar kisah The Girl on the Train kan di Inggris! Kan apa-apaan, ya. Kayak nggak ikhlas banget kalau ada cerita bagus populer yang bukan American-based. Saya juga agak mengernyitkan kening ketika mendengar Emily Blunt dipilih sebagai pemeran Rachel Watson. MANANYA EMILY BLUNT YANG 'NGGAK MENARIK'??? Lagipula bukannya Mbak Emily itu singset ramping subhanallah gitu kan... Cuma berhubung saya memang bias, dan memilih untuk memercayakan karakterisasi Rachel kepada kemampuan akting Mbak Emily semata, saya tetap bertekad mau mencoba nonton versi adaptasi filmnya.
VERDICT: Lumayan lah. 7.8 untuk keseluruhan film, 8.5 untuk akting Mbak Emily (iya ini kayaknya kecampur bias tapi bodo amat™). Sumpah ya saya merasa Emily Blunt di The Girl on the Train bisa nggak ada cakep-cakepnya sama sekali. Badan doang yang bagus, tapi mukanya bisa bener-bener kelihatan stressful, disturbed, dan wasted. Kentara banget kalau hidupnya kusut. Secara plot juga terbilang cukup loyal terhadap isi bukunya, sih... walau masih ada sejumlah bagian yang dipangkas sana-sini. Oh iya: rating film ini 21+ jadi tolong dengan sangat tidak mengajak anak-anak yang baru mau puber, atau pipis lurus aja belum bener, ke dalam studio bioskop.
If you really want to know why: Mbak Megan Hipwell yang dikabarkan ngilang itu bakal jarang pakai baju di sepanjang film. Oke? Oke. Masih mending lah The Girl on the Train bisa lolos masuk ke sini, lah dulu Gone Girl malah kesandung di Lembaga Sensor karena *uhuk* kayaknya #SelangKebon-nya Ben Affleck dinilai cukup ofensif di mata orang-orang LSF.
(Syukurlah, begini-begini saya sudah cukup umur.)
Anna, mantan selingkuhan suami Rachel yang sekarang udah dinikahin.
Ada beberapa pleasant surprises di The Girl on the Train yang bikin saya seneng, despite everything. Barangkali kejutan ini bisa terasa betul-betul 'mengejutkan' karena saya bahkan (sengaja) nggak nonton trailer-nya sih ya, namun banyak wajah-wajah cast yang kesannya all-too-familiar, yang dulu suka muncul di serial-serial televisi lawas macam FRIENDS dan That '70s Show. Siapakah mereka? Tebak saja sendiri HAHAHAHA.
Cara pengambilan gambar film ini pun menurut saya menarik. In short: BUSET MABOK BENER. Shots-shots banyak yang terkesan nggak fokus dan agak 'goyang', seolah-olah mencerminkan PoV Rachel Watson yang notabene sehari-harinya jarang sober. Menyenangkan sekali untuk dilihat. Beberapa scene agak bikin merinding karena yaa... kesannya cukup creepy, plus didukung dengan scoring minimalis yang justru nyebelin karena efektif membuat suara-suara lain terdengar lebih jelas.
Singkat kata, film ini layak dicoba sih. Siapa tahu suka. Novel The Girl on the Train berhasil bikin saya baper luar biasa ketika membacanya. I was emotionally involved a little bit too far, and the movie, though not as much as when I read the book, managed to make me 'reunite' with all those feelings. Semua tokoh di kisah ini nggak ada yang 'normal'. They are fucked up all the same, but I somehow understand why they do what they are doing.
Nah sekarang... ada yang berkenan ngajakin (sekaligus mentraktir) saya nonton Cek Toko Sebelah, Rogue One: A Star Wars Story, Arrival, sama La La Land nggak? #KizminLyfe #OneBrokeGirl #ShamelessQuestion
*digebukin pakai kentongan Poskamling*
z. d. imama
[ UPDATE: Cek Toko Sebelah akhirnya berhasil ditonton kemarin lusa (10 Januari 2016), berkat kemurahan hati Kak Chika yang usut punya usut, ternyata nggak menemukan teman yang berminat untuk diajak nonton film Indonesia. Hahaha. Haha. Ha. Nah jadi sekarang adakah di antara kalian yang berkenan mengajak saya nonton tiga film sisanya? #Tetep #ShamelessPlea #KizminLyfe ]
AH WAKTU ITU DIAJAKIN NONTON GAK MAU
ReplyDeleteKak Chika waktu itu ngajakinnya hari apa siiih? Aku udah ada janji ketemu orang kayaknya habis itu X'))))
DeleteAkhirnya nonton yang lain...
DeleteOke, baca intronya lalu skip skip skip skip, saya emang sdh baca bukunya tp belom nonton pilemnyeee ga mau baca infonya dulu euy
ReplyDeleteLah. Kalau gitu Om kapan mau ninggal komentar yang proper kalau tulisan saya di-skip melulu gini... #KraySekebon
Delete(((SELANG KEBON)))
ReplyDeletedoh. =))
Wkakaka gw juga review buku ini.. Dan komentar kita sama.. Emily Blunt mah cakep.. Mau diapain juga menarik
ReplyDeleteWkakaka gw juga review buku ini.. Dan komentar kita sama.. Emily Blunt mah cakep.. Mau diapain juga menarik
ReplyDeleteIt's downloading time, The Girl On The Train Audio-book is now available on AudioBooksNow.
ReplyDelete