Monday 5 December 2016

Moana: 103 Minutes of Pure Bliss


Saya suka sekali menonton film animasi.. yang menarik perhatian saya. Iya, saya anaknya agak picky soal film. Kalau nggak tergelitik untuk nonton ya dilewat. Bahkan meskipun saya cenderung suka dengan film animasi (apalagi Disney), penting bagi saya untuk menanti perasaan kepengin itu nongol ke permukaan jiwa (dan tentu saja dilengkapi dengan restu saldo rekening). Masalahnya, saya terus terang nggak pengin-pengin amat nonton Moana. Alasan saya shallow dan sederhana: judul filmnya pakai nama tokoh protagonis. Mungkin saya cukup trauma dengan booming beberapa waktu silam di mana judul-judul sinetron lokal semuanya merupakan nama tokoh protagonisnya yang rata-rata menye-menye, gemar disiksa dan enggan melawan, tapi ujung-ujungnya live happily ever after karena sosok cowok kaya nan tampan yang suka sama dia.

Tapi ini kan film Hollywood?

Ya namanya juga keburu males duluan. Saya bisa apa. Lagipula, setelah judul-judul yang lucu seperti Brave, Wreck-It Ralph, Tangled, Frozen, Big Hero 6, Zootopia.. masa terus mau pasang nama protagonisnya doang tanpa embel-embel apa pun? Bagi saya itu sangat kentang. Kena tanggung. Cuma, berhubung saya kena rayuan dari Kak Bonni Rambatan (yang namanya juga tertera dalam postingan ini), akhirnya hari Minggu kemarin, 4 Desember 2016, saya menyeret pantat besar ini dari kamar kosan menuju ke bioskop terdekat.

And it was one of the best decisions I've ever made in this shitty 2016.


Everything. Looks. Glorious. Setiap adegan rasanya sungguh screenshoot-worthy, dengan color palette dan aura film yang bikin saya kepengin buka kaos dan cuma pakai beha lalu menari hula-hula di studio sambil ngemil nanas. Sayang niat itu harus diurungkan karena nanti saya bisa diusir sekuriti... ditambah lagi di dalem studio bioskop AC-nya kenceng jadi saya takut masuk angin. Maklum gadis dusun.

Story-wise, kisah Moana terbilang sederhana. Atau lebih tepatnya, saya memilih menyampaikan cerita umum film ini secara simpel dan se-spoiler free mungkin. Moana, anak semata wayang kepala suku di pulau Motunui dipilih oleh samudera untuk mengembalikan jantung dewi Te Fiti yang dipercaya memiliki kekuatan penciptaan kehidupan. Dia harus berangkat bertualang mengarungi lautan luas meski ditentang keras oleh ayahnya, sebab kehidupan rakyat pulau Motunui mulai terancam dengan hilangnya ikan-ikan dan membusuknya hasil panen kelapa. Demi mengembalikan jantung Te Fiti, Moana perlu menemukan demigod bernama Maui, the one who stole the heart in the first place. Setelah mereka bertemu dan Moana tahu bahwa Maui ternyata hanya makhluk narsis yang baik hati, keduanya meneruskan petualangan dengan misi mengembalikan jantung Te Fiti yang dulu sempat dicuri Maui.

Baby Moana :3

Visual-wise, Moana sangat menyenangkan. Agak-agak mengingatkan pada Life of Pi, tapi yang ini versi animasi (namun karena mempertimbangkan bahwa Life of Pi sebagian besar gambarnya diambil di depan green screen, well.. you know what I mean). And have I said that almost every scene and cut from Moana is Instagram-worthy? Kalau saya yang jadi Moana, ngapain repot-repot mengarungi samudera mempertaruhkan nyawa. Mending foto-foto cantik di pulau Motunui terus diunggah ke media sosial.. siapa tahu dapet banyak likes terus bisa alih profesi ke endorser atau influencer. *dibacok massa*

Music-wise... ADOH CAKEP BANGET. Komposer utama Moana adalah Mark Mancina, yang mana sebelumnya saya sudah jatuh cinta dengan karya beliau lewat aransemen soundtrack film Tarzan (yang animasi tahun 1999, bukan yang ada Alexander Skarsgard dengan segala ototnya itu) dan August Rush. Lagu-lagu di Moana juga bagus-bagus, sampai-sampai tetangga kosan saya sudah lebih dari seminggu terakhir ini nge-blast album Original Soundtrack Moana tanpa henti dan tanpa lelah (yang mana baru kemarin saya sadari sebenernya dia nyetel lagu apa beberapa hari belakangan).

Character-wise, saya suka sekali betapa karakter Moana mengingatkan saya dengan Rapunzel di film Tangled. Bersemangat dan tidak menye-menye, tapi masih bisa merasa sedih dan meragukan apakah dia memang membuat pilihan yang benar. Hangat, menyenangkan, sekaligus manusiawi. Bagaimana Moana menunjukkan ekspresi lempeng di momen-momen tertentu makin membuat saya flashback ke Rapunzel. Bedanya, bentuk tubuh Moana sebagai anggota dari 'bangsa pekerja' lebih kekar dan berisi dibanding Rapunzel, yang cenderung thin and frail frame. And that is one more thing to love about her. Tokoh Maui sebagai rekan perjalanan Moana yang heboh, kepedean, dan sok yes pun benar-benar melengkapi. Bahkan ayam peliharaan Moana, Heihei, yang saya yakin 100% niatnya dibikin cuma buat comic relief pun tidak terasa seperti useless character.

The stupidest character ever in Disney's history. Hands down.

Partner in crime, not love interests.

Jika saya harus memberi nilai film ini, maka saya akan beri Moana skor 8.8/10. Poin harus saya potong 0.2 karena saya tetap nggak suka sama pemilihan judulnya. Hahaha. Maaf ya saya anaknya dangkal begini. But one thing is clear: if you happen to have not watched this movie yet, run to the nearest or cheapest cinema and buy yourself a ticket. It will be a fun ride, a happy movie experience. Moana sangat memanjakan mata dan telinga kita. Oke, minimal saya deh.

By the way, di awal penayangan kita akan disambut sebuah short movie yang juga menghangatkan hati, kyut, dan cukup menghibur. Jadi jangan telat masuk! Sayang kalau kelewatan. Kemudian di akhir film ternyata ada satu after-credit yang menurut saya sih lucu... Belakangan Disney, sejauh pengamatan saya, tampaknya makin cerdas dalam menyelipkan jokes-jokes dalam dialog mereka. Kebanyakan juga nyindir tipikal film mereka sendiri sih. Hihihi.

Terima kasih Kak Bonni atas ajakan nontonnya!

z. d. imama

10 comments:

  1. Ciye nontonnya bedua
    Halagh yo bebas yo

    Saya cuma baca bbrp paragraf trus skip skip karena alurnya walopun digambarin secara halus tetap ajaaaa tar ga bikin penasaran lg

    Tar dilanjutin baca habis saya nonton jg, bag lama2 blogmu ini jd rujukan tontonan saya jg deh hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gimana Om sekarang? Udah nonton beluuum? Ayoo dibahas hahaha

      Delete
    2. Beloom, ujug2 td malah nonton yg judule Sing. Apik kui hehe

      Delete
  2. Tapi karya Bonni Rambatan itu keren so far, dan sikapnya atas kerjaan jg keren. Titip salam kalo ketemu beliau lg. Banzai!

    ReplyDelete
  3. Aku baru lihat trailer-nya pas nonton Fantastic Beasts kemarin itu langsung kepincut pengen nonton film ini. Pengen nonton di hari biasa aja biar murce. Kalau nonton di hari wiken, mehong. Bolos kerja aja deh kalo gitu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aduh enak ya Mbak kalau bisa bolos kerja demi bersantay atau main hahaha haha ha. Saya kangen tidur siang pada weekdays atau nonton film pemutaran perdana di weekdays... Sesungguhnya era mahasiswa adalah era senganggur-nganggurnya siswa :)))))

      Delete
  4. Ahhhh... kemarin mau nonton film ini tapi kemalaman. Harus banget ditonton ini, mah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saran saya nontonnya jangan kemalaman, Kak. Soalnya ada after-creditnya kan, lucu.. kalau udah larut malem nontonnya nanti keki sendiri sama mas-mas yang mau bersihin studio :)))

      Delete
  5. boleh nie buat anak nonton ginian, secara dia demen frozen atau rapunzel type

    ReplyDelete
  6. Udah nontoooon. Terus pengen nonton lagi soalnya emang bagus banget! Padahal nonton ini gak sengaja karena kehabisan tiket Fantastic Beasts and Where To Find Them. Ternyata filmnya baguuus! Suka deh. :D

    ReplyDelete