Thursday, 27 October 2016

The Holy "But"


Setelah sekian lama, akhirnya saya bikin postingan ngomel lagi. Terakhir kali saya menggerutu lewat tulisan ini, yang mana sudah berbulan-bulan silam. Apa? Menurut kalian blog saya isinya soal curhat dan ngomel semua? Wah, saya terharu. Ternyata ada yang sungguh perhatian pada konten blog saya. *disambit jemuran*

Anyway...

Mungkin kalian sudah tahu bahwasanya saya ini orangnya insekyur. Terbiasa dikomentari orang kanan-kiri semenjak kecil atas penampilan saya yang kurang kurus, kurang tinggi, kurang putih, rambutnya kurang lurus dan kurang rapi, atau kurang punya alis membuat dua puluh sekian tahun hidup saya penuh perjuangan menyelamatkan sisa-sisa self-esteem. Saya berusaha fokus pada apa yang bisa dilakukan, yang mana saat itu adalah belajar dan belajar (karena masih sekolah) dan hasilnya sebagaimana tertulis pada postingan ini. Toh komentar-komentar mereka juga tidak bisa saya bantah. Because, you know, when people are saying bad things about you often enough, you will start to believe that you are a misfit and something is wrong with you. Mau berlagak sok yes dengan upload video bilang "Kalian semua suci sempurna, aku penuh dosa cela" juga nggak bisa.

Nanti malah jadinya udah buruk rupa, kemlinthi (banyak gaya) pula.

Jangan salah sangka. Banyak juga orang-orang di sekitar saya yang nggak ikut-ikutan melemparkan komentar dan celetukan rese. Tapi masalahnya, beberapa dari kawan-kawan dan kenalan tersebut justru melakukan sesuatu yang efeknya sama seperti golongan di paragraf satu: membuat saya kesal dan mengorek-orek self-esteemThis phenomenon is what I call as:

"The holy 'But'."

Entah memang karakter manusia Indonesia yang pasif-agresif, atau mereka memang sulit ikhlas dalam mengatakan suatu hal baik, saya kurang tahu. The holy "But" ini adalah suatu kondisi di mana ada seseorang yang mengucapkan kalimat pujian atau upaya penghiburan kepada saya, namun selalu lebih dulu diawali dengan menyebutkan unsur yang dianggap negatif berdasarkan tolok ukur masyarakat.

Contoh:

  • "Kamu itu nggak obesitas, kok. Tapi ya emang berisi gitu, kelihatan sehat."
  • "Kamu memang nggak cantik, tapi menyenangkan."
  • "Kamu nggak cantik sih, tapi kamu anaknya ngangenin."
  • "Kamu padahal nggak cantik, tapi ternyata enak diajak ngobrol."
  • "Kamu ini nggak cantik, tapi punya karakter kuat."
  • "Kamu nggak jelek kok, tapi bakal cantik kalau pakai jilbab." ― this one takes the "Indon-est of all typical Indon compliments" cake.

Oke. Jadi sejumlah orang-orang di sekeliling saya memiliki pendapat bahwa saya ini orangnya terlihat sehat, menyenangkan, ngangenin, enak diajak ngobrol, dan berkarakter kuat (tolok ukur 'kuat'-nya dari mana, saya nggak tahu). Opini yang cukup positif, bukan? BUT WHY COULD NOT THEY LEAVE IT AT THAT? Kenapa harus diberikan tambahan (yang mana tidak diharapkan) berupa free reminder bahwa saya ini tidak cantik atau kurang ramping? Maunya apa sih? Ugly―or less pretty―people know best that they are not pretty, let alone beautiful, without you telling them every time you see one.


Jika menyangkut postingan mbak di blog ini, katanya "You would be perfect for someone who deserve you". Cuma kok ya agak gimana gitu, saya anehnya justru agak tidak terima kalau tiba-tiba ada yang menganggap saya ini sempurna, padahal banyak orang sepertinya kebelet 'merevisi' saya secara total layaknya skripsi draf pertama. Dan sampai sekarang, terus terang saya mengidap torn and mixed feelings menyangkut apa yang disebut sebagai inner beauty. Alias 'kecantikan terpendam', atau 'cantik dari dalam'. Kurang paham juga sebetulnya makna frase tersebut seperti apa. Selain itu, semakin lama, saya kian kerap bertemu mereka yang memiliki pendapat bahwa "Inner beauty itu bohong. Orang-orang yang bilang kalau inner beauty lebih penting pasti jelek aja. Udah gitu males merawat diri, nggak mau olahraga makanya badan luber ke mana-mana. Kalau inner beauty itu nyata, beauty pageant nggak akan pakai standar tinggi atau berat badan tertentu."

Ribet juga ya.
Udah jelek, masih bonus dikatain males. Hahaha.

Tapi melalui tulisan ini saya hanya ingin menyampaikan satu hal. Nggak usah melebar ke mana-mana, sesuai judul saja. Guys, kalian kalau ingin menyemangati atau memuji seseorang itu mbok yao tolong yang tulus. Nggak usah pasif-agresif. Nggak usah sok adil nan berimbang dengan merasa wajib menyertakan hal negatif ketika melontarkan kalimat penghiburan, kalian bukan lagi bikin resensi film atau buku.

  • "Kamu ini orangnya seru ya."
  • "Kamu tuh pendengar yang baik."
  • "Kamu enak diajak ngobrol, dari masalah Uttaran sampai konflik Timur Tengah."
  • "Kamu gampang bikin orang sayang, ya."

Udah. Cukup.
Nggak usah ditambahin yang aneh-aneh.
(Tulisan ini juga udah cukup, sebelum ketambahan yang aneh-aneh.)

z. d. imama

13 comments:

  1. Kamu ini lucu yaaaa. Aku selalu senyam-senyum kalau abis baca blog kamu. :))))

    ReplyDelete
  2. kamu ini keren ya, aku suka retweet tweet2 kamu👍

    ReplyDelete
  3. Ijul itu nganu nganu nganu ya..
    *isilah nganu dengan konten positif*
    *kemudian diblock*

    ReplyDelete
    Replies
    1. *masukin nama miskiki ke daftar laporan Internet Positif*

      Delete
  4. The backhanded compliments, sigh.. I hate that too. Buat aku lebih nyebelin komentar ada tapinya daripada komentar jelek & sinis. Fun post for blogger day!

    ReplyDelete
  5. Dirimu itu sebenernya nganu, cuma rada sensi aja .. #kaburpelan2

    ReplyDelete
    Replies
    1. biar nggak kalah sensi dari test pack, Om.

      Delete
    2. Ih komenku gak dikomentarin... *posesip*

      Delete
    3. YA HABISNYA DIBILANG GITU KAN LANGSUNG SPEECHLESS KAK AKU HARUS GIMANA

      Delete
  6. bolehkan aku juga setuju sama tulisan ini? :).

    ReplyDelete
  7. hahahah... kamu tuh lucu yah.. tapi

    ReplyDelete
  8. Nggak nyangka ya, kamu anaknya asik juga ternyata. Tapi please lah, balikin dong duit yg lo pinjem kemarin.
    #Loh #Ternyata.

    ReplyDelete