happy good day :D
CAUTION:
this will be the most boring post, ever.
karena gue cuman bakal nge-post autobiografi yang jadi tugas ospek ke blog ini.
*dilempar setrika
Aku
bukan anak pintar. Aku mengenali diriku sebagai anak dengan prestasi akademik
biasa-biasa saja. Alasannya? Sebab selama duduk di bangku SMP dan SMA (lupakan
bangku Sekolah Dasar, itu adalah masa-masa di mana hanya dengan sedikit usaha
nilai bagus akan bertaburan di kertas ulanganmu dan sudah bisa dipamerkan
kepada Ayah dan Ibu), aku tidak pernah memenangkan Olimpiade Sains dan
sejenisnya. Nilai sepuluh dalam ujian matematika kudapatkan terakhir kali
ketika aku kelas tiga SD—ini sungguhan, I’m
that idiot in mathematics—dan
aku adalah peserta tetap remidi matematika, fisika, dan kimia selama kira-kira
empat tahun di sekolah menengah. Yap, hingga aku kelas sepuluh.
Jujur
saja waktu itu aku nyaris depresi.
Aku
iri dan minder melihat sebagian besar teman-temanku berhasil memperoleh nilai
lumayan (beberapa orang, tentu saja, mendapat jauh lebih baik dari lumayan) untuk ketiga mata pelajaran
tersebut, sementara aku hanya lolos tipis dari lubang jarum yang dinamakan
‘batas tuntas’. Bahkan aku kerap berprasangka kalau nilai-nilai mepet itu
adalah hasil rasa iba guru-guru padaku, mengingat tak sekali-dua kali aku gagal
menuntaskan nilai di ujian remidiasi.
Mungkin
aku memang bodoh dalam pelajaran eksakta, pikirku dulu. Tapi nilai biologiku
tidak tragis-tragis amat. Lalu aku berpikir ulang: mungkin masalahku adalah berhitung.
Sekarang
coba pikir.
Aku
menghitung X, Y, Z, angka desimal, pecahan, dan angka-angka aneh dalam
matematika.
Aku
menghitung kelembaman, kecepatan benda bergerak dan gesekan pada benda lain di
fisika.
Aku
menghitung jumlah molekul, partikel, ion dan kawan-kawannya di kimia.
Oke,
aku memang menghitung jarak gempa dalam geografi dan inflasi dalam ekonomi,
tapi itu masalah lain. Intinya, pelajaran matematika, fisika, dan kimia adalah
semacam black hole di raporku, tak
peduli seberapa keras aku belajar demi mengejar ketertinggalan.
Dan
itu, bagiku, menyedihkan.
Guru
kimiaku sewaktu kelas sepuluh bahkan sempat mengultimatum, kalau aku tak bisa
menebus nilai-nilaiku di kelas sebelas nanti, aku mungkin tidak akan naik ke
kelas dua belas. Waduh.
Aku
panik. Istilah bekennya jaman sekarang: galau.
Sekadar informasi, saat aku kelas sepuluh, sekolahku membuka tiga kelas program
RSBI yang nantinya akan langsung dijuruskan ke IPA, dan celakanya aku adalah
salah satu siswa dari tiga kelas RSBI itu. Ayahku berpendapat bahwa masuk RSBI adalah ‘berada
di jalan yang benar’, tetapi bagiku pertaruhannya kelewat besar. Sepanjang
empat tahun aku sudah pontang-panting belajar tiga mata pelajaran maut itu dan
masih saja belum cukup. Bagaimana kalau nanti aku gagal memenuhi ekspektasi
guru kimiaku dan tinggal kelas karena kurang nilai? Apakah itu masih bisa
disebut ‘berada di jalan yang benar’?
Kemudian,
aku mendengar seseorang berkata.
Bukan
ditujukan kepadaku, tapi kata-kata itulah yang menjadi peganganku selama ini,
membuatku berhasil tiba di sini.
“Jangan terlalu sibuk memperkuat
kelemahanmu untuk menyamai kekuatanmu. Cobalah untuk mengakui kelemahanmu dan
mempertajam kekuatanmu. Lakukan itu sambil terus melangkah maju.”
Dan
aku pun merenung.
Apa
kekuatanku?
Apa
yang kusukai? Apa yang membuatku menikmati saat melakukan suatu hal? Hal apa
yang ingin kulakukan?
Kuambil
raporku. Kuperhatikan. Aku mempertimbangkan banyak hal, berdebat dengan diriku
sendiri selama berhari-hari. Hasil dari perenunganku adalah: aku tidak akan
masuk IPA. Aku harus pindah ke penjurusan IPS tahun ajaran mendatang. Untuk
itu, aku perlu membujuk ayahku agar merelakanku keluar dari program RBSI ke
kelas reguler.
Ya.
Keluar
dari ‘jalan yang benar’.
Selanjutnya
bagaimana? Tentu saja aku dan ayahku sempat bertengkar, sebelum akhirnya beliau
mengalah (berkat jasa Ibu, yang selalu punya hak veto terhadap
kebijakan-kebijakan Ayah). Sejumlah teman-teman memandangku sebelah mata. Ada
yang mengatakan terang-terangan kalau aku sudah membuat satu keputusan bodoh.
Yah, itu sudah bisa diduga sih. Mana mungkin semuanya adem-ayem saja.
Tapi
tekadku sudah bulat.
Hari
pertama aku menjadi siswa kelas sebelas, kutapakkan kakiku di kelas XI IPS.
***
Pembagian
rapor semester gasal kelas sebelas benar-benar membuatku tegang. Bagaimana
tidak? Kalau nilaiku tak membaik, Ayahku pasti sangat kecewa (karena beliau
tampak masih sangat berat hati membiarkanku masuk program IPS kala itu). Namun
saat mengecek angka-angka yang tertera, aku bisa sedikit menghela napas lega.
Paling tidak, hanya tersisa satu black
hole di sana—matematika—, bukan tiga.
Jika aku berjuang lebih ngotot lagi semester depan, mungkin hasilnya akan
meningkat.
Beberapa
bulan kemudian, aku berhasil memperoleh beasiswa pertukaran pelajar ke Jepang
selama setahun.
Rasanya
kayak mimpi.
Padahal
aku yakin, ada ribuan anak Indonesia yang lebih pintar dariku yang mengikuti
seleksi program pertukaran pelajar itu. Ada ribuan anak Indonesia yang rapornya
terbebas dari ancaman black hole,
yang tidak perlu menangis bingung terlebih dulu di malam sebelum ujian
matematika, fisika, dan kimia. Anak-anak yang menjuarai ini-itu, baik akademik
maupun non-akademik. Anak-anak dari
golongan ekonomi menengah ke atas yang sanggup membiayai sendiri pertukaran
pelajar mereka, tidak perlu cemas menanti sponsor seperti aku.
Tapi
Tuhan mengizinkanku lolos seleksi pertukaran pelajar karena alasan yang tak
sanggup kuketahui.
Motivasiku
waktu itu sederhana saja. Aku ingin melihat bagian dunia yang belum pernah
kulihat. Melihat bagaimana cara orang luar dan pemuda-pemudinya menatap wajah
Indonesia. Aku ingin bertemu banyak orang, menyaksikan perbedaan penampilan,
paham, dan bahasa.
Aku
hanya ingin tahu.
Dan
dengan bermodalkan rasa ingin tahuku, aku berangkat bersama enam orang anak
Indonesia lainnya. Jangan tanya apakah waktu itu aku sudah lancar berbahasa
Jepang. Pokoknya jangan, karena lihat huruf-huruf hiragana saja sudah
berkunang-kunang.
Episode
pertukaran pelajar tidak akan kuceritakan di sini. Yang jelas, selama setahun
aku banyak melihat dan belajar hal-hal baru, melalui berbagai pengalaman yang
membuatku banyak berpikir, merenung, dan—kadang—menangis.
Setahun
berlalu. Aku pulang kembali di tanah air. Ternyata, perjuangan keras justru
dimulai dari sini. Disebabkan perbedaan waktu tahun ajaran baru, aku masuk
sekolah lagi di Indonesia ketika pertengahan semester genap kelas sebelas,
dalam kondisi tidak ingat sama sekali tentang semua materi pelajaran. Segalanya
seperti menguap begitu saja dari otak, karena apa yang kupelajari satu tahun di
Negeri Sakura berbeda dengan apa yang ada
pada kurikulum Indonesia. Selama dua minggu pertama, yang kulakukan hanyalah
memandang hampa papan tulis sepanjang guru menerangkan—terutama di kelas matematika
dan bahasa Jerman.
Aku tahu aku tak boleh tinggal diam.
Jika
Van den Bosch punya cultuur stelsel,
tampaknya aku harus (mau tak mau) mencanangkan studie stelsel terhadap diriku sendiri kalau tidak rela raporku
dipenuhi black hole.
Kuputuskan satu hal: aku harus bisa benar-benar kembali
paham pelajaran-pelajaran yang kulupakan.
Jadi kukerjakan saja hal-hal sederhana—dan masuk
akal—yang bisa kulakukan.
Aku mencoba setiap hari duduk di kursi baris paling
depan.
Setiap ada hal yang tidak kupahami, aku buang rasa gengsi
dan malu untuk menanyakan lebih lanjut pada guru. Biar saja kelihatan bodoh,
toh memang aku masih belum mengerti pelajarannya.
Kau tanya kenapa aku tidak berdiskusi saja dengan
teman-teman?
Mana bisa begitu. Tidak ada orang yang mau dimintai
tolong berpikir lagi setelah satu atau dua jam penuh mempekerjakan otak.
Teman-temanku pasti juga lelah seusai pelajaran. Mereka pasti ingin istirahat.
Lain soal kalau bapak dan ibu guru.
Tetapi ternyata berkomitmen terhadap diri sendiri itu
memang tidak mudah.
Serius.
Apalagi saat kau adalah remaja SMA yang dilanda culture shock kampung halaman, curriculum shock di sekolah, perasaan
enggan pulang ke Indonesia (karena sedang betah-betahnya di negeri orang), dan
kesadaran penuh bahwa kini banyak guru-guru berekspektasi lebih padamu. Rasanya
beban jadi banyak sekali. Belum ditambah peristiwa di mana sejumlah teman
sekelas sempat mencibir, mengecapku sebagai
teacher’s pet, karena mereka sering memergokiku bertanya atau berdiskusi
dengan para guru. Kejadian tidak enak ini berlanjut selama berbulan-bulan, yang
berdampak aku seperti dikucilkan dari mereka. Padahal aku tidak pernah
mengeksklusifkan diri, lho. Aku selalu menyapa mereka dengan wajar, mengajak
ngobrol, mencoba membaur, tapi beberapa orang tak menyambut baik usahaku.
Ya sudahlah.
Rasanya jelas sakit, ya, diperlakukan sedemikian rupa. But I came home to survive, and I will. I
had survived out there, so I have to believe that this time it surely will be
okay.
And everything
had finally come to this point.
Atas izin Allah SWT, aku berhasil diterima sebagai
mahasiswi Universitas Indonesia tahun 2012, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Sastra Rusia. Mungkin penderitaan-penderitaan dan beban-beban berat lain sudah
menungguku, tapi aku akan mencoba untuk tidak melarikan diri. Perjalananku,
sekali lagi, telah kembali ke titik awal. Di kampus perjuangan.
Veritas,
probitas, justitia.
z. d. imama
thanks ya Rabb, ijul posted a new blogsomething again! hahaha
ReplyDeletekayaknya emang udah sindrom turunan ya pada mandang anak yg mantep milih IPS sebelah mata. woy sekarang udah bukan jamannya soehartoooooo!!!
semangat izul buat kuliahnya! ntar ajarin aku bikin nuklir yaa :D
Wow. cuma itu yg aku bisa bilang dari tulisan kamu ini, zul.
ReplyDeleteperjuangan melawan orang tua untuk menuju 'jalan yang benar' nggak cuma kamu yg ngejalani. aku pun juga kayak gitu. ketika dipaksa harus memilih jurusan IPA dan tidak bisa diganggu gugat, sedangkan aku sendiri juga gamau. akhirnya jalan keluarnya adalah aku harus me'merah'kan salah satu nilaiku di rapor. walaupun aku tau, sebenarnya aku juga bisa *bukansombong* dan akhirnya, aku masuk IPS.
harus ada hutang besar yang dibayar atas keputusan besar itu. HARUS SUKSES. ya, itu yang kita butuhin setelah kita telah berada di jalan pilihan kita sendiri yang mungkin bertentangan dengan keputusan orang tua kita.
cuma ada satu kataku untuk perjuanganmu setelah pulang ke tanah air, SALUT. ya, aku salut sama kamu. kamu bisa kuat dan bertahan dalam kondisi seperti itu. kalau aku jadi kamu, aku pun nggak yakin akan bisa sekuat itu.
Selamat adikku sayang. Manis itu adanya di akhir. dan kamu udah buktiin itu. Sekarang kamu udah ngerasain manisnya hasil perjuanganmu di SMA. tapi inget, ada perjuangan baru yang pasti jg akan ada pahitnya yang baru akan kamu mulai. DUNIA PERKULIAHAN.
Semangat selalu, adikku. aku tau kamu bisa. :)
Envy -____-
ReplyDeleteselamat ya mbak :)
@ipah: heeeeeeeeeeeh kamu lama sekali engga ngomen di tempatku! dasyaaarzzz -_-
ReplyDelete@nisa-san: makasih wejangannya kakak :"") aku berasa dinasehati ibu-ibu muda, wkwkwkwk
@dyah hapsari: makasih. tapi, kenapa pake envy segala sama saya yang babak belur begini? -________-
hello there learnlovinglife.blogspot.com blogger found your website via search engine but it was hard to find and I see you could have more visitors because there are not so many comments yet. I have discovered website which offer to dramatically increase traffic to your site http://massive-web-traffic.com they claim they managed to get close to 4000 visitors/day using their services you could also get lot more targeted traffic from search engines as you have now. I used their services and got significantly more visitors to my site. Hope this helps :) They offer best services to increase website traffic at this website http://massive-web-traffic.com
ReplyDelete